Himbauan

Para Anggota Pesikian Swa Wandawa Yth, tolong isi poling berikut ini. Terimakasih.

Apa pendapat anda tentang keberadaan Merajan Ageng Karangenjung?

kori

kori
puri karangenjung
Powered By Blogger

Jumat, 08 Juli 2011

I GUSTI AGUNG WAYAHAN DAWAN CUCU RAJA KARANGASEM III

( oleh: I Gusti Agung Putu Juana)

Pasikian Swa Wandawa Sembung-Karangenjung yang berdiri sejak 15 September 1957 telah menerbitkan “Buku 50 Tahun Swa Wandawa”. Penerbitan ini rangka HUT ke-50 Swa Wandawa Sembung-Karangenjung. Walaupun telah dibahas dalam Seminar di Gedung (Audio Vidio) SMA N 2 Denpasar tanggal 6 April 2007, keberadaan Ida Bhatara Lelangit I Gusti Agung Wayahan Dawan belum dibahas secara rinci dalam buku tersebut. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu, sumber/ literatur yang ada, serta keterbatasan pengetahuan tim penyusun.

Pada tanggal 31 Oktober 2007, Pangelingsir/Pengurus Swa Wandawa menerima surat dari I Gusti Made Jelantik Susila (Jero Anyar Sembung). Dalam surat tsb terlampir satu eksemplar buku yang beliau susun dengan judul: (Tabe Pakulun) “I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti” (Sang Atapa Rare, Bhatara Lelangit Pasemetonan Swa Wandawa Sembung-Karangenjung lan Pasemetonan Puri Samu). Rupanya dari tulisan tersebut memberikan titik terang dalam menjawab tanda tanya yang sering terngiang tentang keberadaan Tabe Pakulun Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan. Beliau diberikan kedudukan di Kengetan oleh Raja Mengwi Ida Cokorda Sakti Blambangan, setelah dijodohkan dengan putri beliau Ida I Gusti Agung Ayu Suci. Tulisan yang berupa buku dijilid rapi setebal kurang lebih 26 halaman yang kami terima dari I Gusti Made Jelantik Susila, penulis coba untuk merangkum sebagai bahan informasi melalui penerbitan majalah GEMA edisi yang ke-8 ini. Di samping mengambil sumber dari buku: “I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti”, penulis juga mencoba untuk menggabungkan dari sumber-sumber lain, di antaranya dari bagan silsilah Shri Nararya Kresna Kepakisan, entah dari mana didapatkan oleh saudara I Gusti Nyoman Widnyana, yang ditunjukkan (dipinjamkan) kepada peneulis, saat kami (Juana dan Puspanegara) berkunjung ke rumahnya (Jl. Tk. Banyuasri Panjer Denpasar).

Shri Nararya Kresna Kepakisan sebagai Maha Patih dan Penasehat Raja Sri Aji Kresna Kepakisan (Dalem Kresna Kepakisan) yang berkedudukan di Samprangan (1352 M). Beliau mempunyai dua orang putra yaitu Pangeran Nyuh Aya dan Pangeran Made Asak. Keturunan Pangeran Nyuh Aya merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Karangasem, dan keturunan Pangeran Made Asak merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Mengwi. Pratisentana dari kedua dinasti ini (Pangeran Nyuh Aya dan Pangeran Made Asak) akhirnya bersatu dalam perjodohan perkawinan antara I Gusti Agung Wayahan Dawan dari dinasti Pangeran Nyuh Aya dan I Gusti Agung Ayu Suci dari dinasti Pangeran Asak, yang menurunkan Pasemetonan Swa Wandawa Sembung-Karangenjung dan Pasemetonan Puri Br. Samu dan Sigaran. Bagaimana perjalanan sejarahnya? Marilah kita ikuti uraian berikut ini.

Pangeran Nyuh Aya mempunyai 8 orang putra, yaitu:

  1. Kiyai Agung Petandakam
  2. Kiyai Satra
  3. Kiyai Pelangan
  4. Kiyai Kloping
  5. Kiyai Akah
  6. Kiyai Cacaran
  7. Kiyai Anggan dan
  8. Kiyai Ayu Adhi

KA. Petandakan mempunyai 4 orang putra yaitu:

  1. KA. Batanjeruk
  2. KA. Bebengan
  3. K. Tusan dan
  4. K. Gunung Nangka

KA. Batanjeruk mengangkat seorang anak, yaitu I Gusti (Pangeran) Oka, di mana I Gusti (Pangeran) Oka adalah keponakan beliau, putra dari KA. Bebengan.

Dikisahkan bahwa KA. Batanjeruk (I Gusti Arya Batanjeruk) melakukan pemberontakan terhadap Dalem di Gelgel. Menurut buku: “Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok (Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem 1661 – 1950), Anak Agung Ktut Agung, 1990, pada halaman 27 menjelaskan:

“…….. Kerajaan Karangasem lahir sekitar 1661 M dengan I Gusti Anglurah Ktut Karang sebagai Raja I (pertama). Beliau ini adalah keturunan I Gusti Arya Batanjeruk, Patih Agung yang memberontak terhadap Dalem Gelgel ……….”

Selanjutnya diceritrakan bahwa Dalem Gelgel memperoleh bantuan dari penguasa Kapal yang dipimpin oleh Krian Manginte. I Gusti Arya Batanjeruk mengalami kekalahan, dan wafat di Bongaya dalam perang tanding melawan Krian Mangite. (Menurut bagan silsilah Shri Nararya Kresna Kepakisan, Krian Manginte adalah putra dari Pangeran Made Asak yang masih bersaudara kandung dengan Pangeran Nyuh Aya. Sedangkan I Gusti Arya Batanjeruk adalah cucu dari Pangeran Nyuh Aya. Dengan demikian Krian Manginte adalah pernah paman dari I Gusti Arya Batanjeruk. Sedangkan menurut buku yang ditulis oleh Jelantik Susila disebutkan bahwa I Gusti Arya Batanjeruk saudara sepupu dari Krian Manginte). Peristiwa ini terjadi di Jungutan-Bungaya, sekitar tahun 1556 M.

Dalam pergolakan perang dengan Krian Manginte, , istri dan anak angkat beliau I Gusti (Pangeran) Oka dapat menyelamatkan diri. Kemudian beliau berdua memperoleh perlindungan dari Danghyang Astapaka, pendeta Bhuda di Desa Bhudakeling. Danghyang Astatapa juga mempunyai pasraman di Bukit Mangu di Desa Toya Anyar (Tianyar), dan Pangeran Oka hampir selalu mengikuti Danghyang Astatapa di Bukit Mangu. Sedangkan ibunya tinggal di Bhudakeling dan membantu segala kegiatan di Geriya Bhudakeling, termasuk bila ada kegiatan pergi ke pasar.

Pada waktu itu sebagai penguasa di Karangasem ialah I Dewa Karang Amla, yang waktu itu berkedudukan di Desa Selagumi (Bale Punduk). Janda Batanjeruk yang hampir setiap tiga hari ke pasar Karangasem, sering bertemu dengan I Dewa Karang Amla, yang kemudian timbul kontak bathin. I Dewa Karang Amla berniat mengawini Sang Janda dan kemudian meminangnya. Danghyang Astatapa selaku wali menyetujui dengan syarat bahwa kedudukan I Dewa Karang Amla kelak bila tiba waktunya harus digantikan oleh Pangeran Oka atau keturunannya. I Dewa Karang Amla menyetujui syarat yang diberikan, dan setelah menatap muka dan penampilan Pangeran Oka, dengan ikhlas menganggapnya sebagai putranya. Dan sejak saat itu Pangeran Oka diajak bersama.

Setelah Pangeran Oka dewasa, beliau berkeluarga dengan tiga orang istri, dan menurunkan enam putra, yaitu: I Gusti Wayahan Teruna, I Gusti Nengah Begbeg, I Gusti Nyoman Karang, I Gusti Ketut Landung, I Gusti Marga Wayahan dan I Gusti Wayahan Bantas. Beberapa lama kemudian setelah putra-putranya dewasa, Pangeran Oka meninggalkan Batu Aya untuk pergi bertapa di Bukit Mangu Tianyar. Beliau mengikuti jejak Danghyang Astatapa sampai wafat di Bukit Mangu. Kedudukan beliau di Batu Aya digantikan oleh putranya (dari istri prami treh I Gusti Akah, yaitu I Gusti Nyoman Karang.

I Gusti Nyoman Karang yang berkedudukan di Batu Aya menurunkan seorang putra bernama I Gusti Ktut Karang yang lahir dari ibu treh I Gusti Tusan. Kemudian setelah I Dewa Karang Amla wafat, beliau inilah (I Gusti Ktut Karang) yang menggantikan kedudukannya sebagai penguasa di Karangasem. Beliau inilah Raja Karangasem Pertama dari keturunan Shri Nararya Kresna Kepakisan, abhiseka I Gusti Anglurah Ktut Karang. Beliau membangun Puri Amlaraja (Puri Kelodan sekarang) yang terletak di utara Batu Aya sekitar tahun 1661 M.

I Gusti Anglurah Ktut Karang menurunkan empat orang putra, yaitu: I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, I Gusti Ayu Nyoman Rai (Ratna Inten) dan I Gusti Ktut Karangasem. I Gusti Ayu Nyoman Rai Ratna Inten diperistri oleh Ida Bhatara di Gunung Agung, berputra Ida Bhatara Alit Sakti yang melingga di Pura Bukit, kira-kira 10 km di sebelah timur laut Amlapura. Sedang ketiga putra laki-laki setelah raja pertama wafat, diangkat kebagai Raja II merupakan pemerintahan kolektif (Tri Tunggal). Yang menjalankan pemerintahan sehari-hari adalah I Gusti Anglurah Nengah Karangasem yang didampingi oleh kakak beliau I Gusti Anglurah Wayan Karangasem. Sedang yang bungsu I Gusti Anglurah Ktut Karangasem sebagai Senopati (Panglima Perang), yang kemudian memimpin ekspedisi mengalahkan kerajaan Sela Parang dan Pejanggi di Lombok pada tahun 1692 M.

I Gusti Anglurah Nengah Karangasem mempunyai seorang putra, yaitu I Gusti Anglurah Made Karang, yang kemudian menjadi Raja Karangasem III. I Gusti Anglurah Made Karang (menurut babad Karangasem, Anak Agung Ktut Agung, 1991) mempunyai 4 orang putra dan 2 orang putri. Putra yang sulung dari ibu prami (putri I Gusti Ktut Penida) bernama I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti. Beliau disebut sakti karena dikenal berbudi luhur, memiliki pengindraan keenam, dapat melihat sepanjang dikehendaki. Babad karangasem menyebutkan bahwa beliau:

“……….Saksat Bhatara Dharma majadma, wruh sira ring tatwa, jnana, cintya suksma kara wyada tekeng jadma gati, mwah wicita tekeng dyumna, apan suduk swastika sarira denira …….”

Beliau ini hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang pertapa, suka menyepi dan beryoga, dan beliau tidak mau memegang tampuk pemerintahan menggantikan ayah beliau (Raja Karangasem III). Beliau mengikuti Danghyang Astatapa (Buddha) dan dikenal sebagai Sang Atapa Rare karena menjalani tapa (upawasa) seperti anak kecil. Dalam keadaan atapa rare inilah beliau menghadapi maut, dibunuh oleh pasukan prajurit Gelgel atas perintah Cokorda Jambe. Setelah mengalami tikaman keris di dada kiri beliau, sempat bertahan menunggu kedatangan putra-putra beliau, dan memberikan pesan-pesan penting termasuk suatu pewisik tentang kediatmikan kepada I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem. Menjelang beliau menghembuskan nafas terakhir, menugaskan salah seorang putra belaiu I Gusti Agung Wayahan Dawan, sebagai utusan untuk menyampaikan kejadian ini (wafatnya Sang Atapa Rare) kepada Ida Cokorda Sakti Blambangan (Raja Mengwi). Disinilah terjadi pertemuan antara Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan dengan Ida I Gusti Agung Ayu Suci, yang kemudian menurunkan Pratisentana Pasemetonan Swa Wandawa Sembung-Karangenjung dan Pasemetonan Puri Samu-Sigaran.

Dalam “Babad Shri Nararya Kresna Kepakisan, Pengurus Pusat Pasemetonan Shri Nararya Kresna Kepakisan, 2007”, pada halaman 138, ayat 67 b, ada dijelaskan sebagai berikut:

“…..Wantunen punang katha mwah, wuwusan manik sira I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti, apan sira tar mahyun ri tataning kaprabon, ammtang nia kang mang dadhya catranikang bhuana Karangasem ping tri, tar waneh sutanira kang jalu-jalu. Sira Anglurah Made Karangasem Sakti, akadatwan sira ring Puri Kelodan Karangasem, sira anurunaken atmaja triyodasi kwehnya, jalu stri, luwire: kang maluhur I Gusti Ayu Wayahan Jelantik, kanganten I Gusti Ayu Nyoman Jelantik, I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem, I Gusti Ayu Rai, I Gusti Ayu Nyoman Dharma, I Gusti Ayu Kaler, I Gusti Agung Wayahan Dawan, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, I Gusti Wayahan Gianyar, I Gusti Ayu Wanasari, I Gusti Ktut Kaler, mwang kang wuruju apapasih I Gusti Ngurah Kaler …….”

Karena beliau (I Gusti ANglurah Made Karangasem Sakti) tidak berkenan memegang tampuk pemerintahan, maka kedudukan raja diserahkan kepada anak-anak beliau (cucu I Gusti Anglurah Made Karang, Raja Karangasem III), yaitu I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, yang memerintah secara kolektif (Tri Tunggal) sebagai Raja Karangasem IV.

Menurut Prasasti I Gusti Pring, Jro Mangku Ktut Subandi, Denpasar, 16 Mei 2002, yang diterima oleh I Gusti Made Jelantik Susila dari Pangelingsir Puri Samu I Gusti Agung Made Nami, pada halaman 10 dari prasasti itu dijelaskan sebagai berikut:

“…..Kunang I Gusti Agung Anglurah Made Karangasem Sakti asutha 13 diri jalu stri, luwirnya: Ni Gusti Agung Ayu Wayan Jelantik, I Gusti Agung Anglurah Made Karangasem madeg ratu maring Karangasem; Ni Gusti Ayu Nyoman Jelantik; I Gusti Agung Anglurah Nyoman Karangasem wekasan jemeneng ratu maring Karangasem; Ni Gusti Agung Ayu Rai; Ni Gusti Agung Ayu Nyoman Dharma; Ni Gusti Agung Ayu Kaler; I Gusti Agung Wayahan Dawan akadatwang maring Desa Kengetan; I Gusti Agung Anglurah Ktut Karangasem wekasan madeg ratu maring Karangasem; I Gusti Agung Wayan Gianyar; Ni Gusti Agung Ayu Wanasari; I Gusti Agung Ktut Kaler; muang I Gusti Agung Nengah Kaler…….”

Selanjutnya pada halaman 13 ada disebutkan:

“…..Titanen Cokorda Sakti Blambangan, rat ring Manguwi asuta 13 diri jalu stri, luwirnya: I Gusti Agung Ratu Panji, wekasan paltra maring Padekdekan, I Gusti Agung Ktut Buleleng maring Muncan (Kapal Muncan,pen), I Gusti Agung Pacung maring Singasari (Blahkiuh,pen), Ni Gusti Ayu Pacung kalap rabi de I Dewa Agung maring Smarapura, I Gusti Agung Wayahan maring Penarungan, I Gusti Agung Made Kamasan maring Sibang Srijati, I Gusti Agung Made Mambal tembenya pejah pwa sira, I Gusti Agung Lebah maring Kapal Kanginan, I Gusti Agung Banyuning maring Sayan, Ni Gusti Ayu Suci inalap rabi de I Gusti Agung Wayahan Dawan maring Kengetan, Ni Gusti Putu Alangkajeng inalap rabi de Sang Pandya Udayana Mimba, I Gusti Agung Alangkajeng wekasan madeg rat maring Mengwi, abiseka Cokorda Made Agung, muang I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng ……”

Mengenai hal ini telah banyak diuraikan dalam Buku 50 Tahun Swa Wandawa, khususnya tentang keberadaan Ida I Gusti Agung Ayu Suci, putri Ida Cokorda Sakti Blambangan yang dijodohkan dengan Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan yang oleh beliau (Cokorda Sakti Blambangan) diberikan kedudukan di Kengetan dengan wadwa 500 orang. Hal ini juga dijelaska dari Babad Mengwi, terjemahan I Wayan Simpen, A.B., cetakan ke-2 tahun 1983, pada halaman 2, yaitu:

“…..Ni Gusti Luh Toya Anyar turunan Arya Gajahpara (sebagai salah seorang istri Cokorda Sakti Blambangan, pen), berputra I Gusti Agung Made Banyuning diam di Sayan, dengan rakyat 500 orang dan adiknya Ni Gusti Ayu Suci dan diambil oleh I Gusti Dawan diberi tempat di Kengetan dengan rakyat 500 orang ……..”.

Demikian uraian singkat yang dapat penulis rangkum khususnya dari buku yang dikirimkan kepada kami (Pangelingsir/Penggurus Swa Wandawa) oleh Yang Terhormat I Gusti Made Jelantik Susila.

Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar