1.2. Keberadaan Sri Nararya Kresna Kepakisan
Sri Nararya Kresna Kepakisan adalah Arya ing Kediri (Aryeng Kediri) anak dari Sri Sastra Jaya, raja Kediri yang memerintah tahun 1258 – 1271 M. Sebagai Kerajaan taklukan Majapahit, maka gelar-gelar seperti yang dipakai oleh para leluhurnya (Erlangga dan raja berikutnya) sudah barang tentu tidak boleh digunakan lagi. Gelar Sri Nararya yang disandangnya adalah juga pencerminan kalau beliau adalah keturunan Raja Kediri. Gelar Sri adalah merupakan cerminan gelar para Raja Kediri sebagai leluhur beliau. Sedangkan Nararya berarti yang mulia diantara orang-orang atau keturunan raja. Arya berarti terhormat, terpandang, mulia atau ningrat. (Suhardana, 2005 : 34).
Pada waktu Dalem memegang tampuk pemerintahan di Bali bangsawan yang paling penting adalah patih, yakni tangan kanan dan sekaligus penasehat Dalem. Semua patih berasal dari keturunan Klan Arya Kepakisan dan di dalam hirarki mereka menduduki posisi kedua ; hanya Dalem dari Gelgel saja yang menjadi atasan mereka. Raja-raja Mengwi selanjutnya menelusuri garis keturunannya kedalam klan Arya Kepakisan ini (Henk Schulte Nordholt, 2006 : 24 – 25).
Sri Nararya Kresna Kepakisan mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama pangeran Nyuhaya (Kiayi Agung Nyuh Aya) dan Pangeran Made Asak.
Pangeran Nyuhaya mempunyai dua orang istri dari istri pertama lahir : Kiyai Petandakan, Kiyai Satra, Kiyai Pelangan, Kiyai Akah, Kiyai Keloping, Kiyai Cacaran, Kiayi Anggan (lihat lampiran) dan Kiayi Ayu Adi (wanita). Sedangkan dari istri kedua lahir : I Gusti Wyh Nyuhaya, I Gusti Ngh Nyuhaya dan I Gusti Ketut Nyuhaya. Kisah selanjutnya tidak diceritakan disini karena tema pembicaraan lebih dipusatkan kepada pangeran Made Asak yang menurunkan pasemetonan yang tergabung dalam wadah Swa Wandawa Sembung Karangjung.
Pangeran Made Asak dalam perjalanan sejarahnya diceritakan sebagai orang yang senang mengembara. Ada dua versi tentang kebiasaan Pangeran Made Asak senang mengembara. Pertama karena memang ada tugas khusus dari raja untuk mengetahui aspirasi masyarakat dan para raja di Bali mengenai kesetiaannya kepada Majapahit. Kedua karena memang tidak ada kecocokan antara Pangeran Made Asak dengan kakaknya Pangeran Nyuhaya.
Pengembaraan Pangeran Made Asak telah mengantarkan dirinya sampai ke desa Kapal. Disini beliau menikah dengan seorang putri dari Patih Tuwa pangeran Kapal dan di karunia seorang putra bernama Kiayi Dhiler, atau dikenal pula dengan nama Krian Dukuh atau Krian Dauh Nginte (Krian Agung Manginte) yang kemudian menjadi perdana Menteri (Patih Agung) Dalem Pemayun Bekung dan Dalem Dimade di Gelgel (sekitar tahun 1550-1580). Dari perkawinannya dengan putri Patih Tuwa Pangeran Kapal, lahirlah dua orang putra masing-masing bernama Kiyai Agung Widhia dan Kiyai Kaler Pranawa. (Lihat Lampiran: 1.3). Keturunan Pangeran Made Asak ini rupanya tidak pernah terhindar dari peperangan-peperangan. Mulai dari Krian Dauh Nginte yang berhasil menjadi Perdana Mentri Dalem Pemayun melalui perang sengit menghadapi patih sebelumnya Kiyai Agung Batanjeruk. Jabatan patih Agung kemudian dipegang oleh putra Kyai Agung Manginte yang bernama Kiyai Agung Widia, sedangkan adiknya Kiayi Kaler Pranawa diangkat sebagai Demung. Kiyai Agung Widia mempunyai delapan putra, masing-masing bernama : Kiayi Agung Kidung (Bekung) yang kemudian menjadi Patih Agung menggantikan ayahnya, Kiayi Kalanganyar, Kiayi Batulepang, Kiayai Basang Tamiang, Kiayai Karang Amla, Kiayai Istri Bakas, Kiayai Istri Kacang Pawos, Kiayai Istri Rimba.
Sedangkan Kiyai Kaler Pranawa mempunyai empat belas orang putra-putri, masing-masing : Kiyai Panida (kemudian menggantikannya menjadi Demung), Kiayai Wayahan Kamasan, Kiyai Sibetan, Kiyai Sampalan, Kiyai Tambesi, Kiyai Teges, Kiyai Ubud, Kiyai Basangkasa dan lima orang putri lainnya yang masing-masing menikah dengan Dalem, menikah ke sidemen, ke Sukaret, ke Bontiris dan Kubu Tambahan.
Begitulah generasi Kiyai Made Asak ke generasi berikutnya terus berlanjut sampai kemudian salah seorang diantaranya yaitu Kyai Agung Dimade merebut kekuasaan terhadap raja Gelgel yang kemudian menobatkan dirinya dengan gelar I Gusti Agung Maruti. Perebutan kekuasaan terpaksa dilakukan karena melihat lemahnya pemerintahan Dalem dan kehidupan rakyat yang semakin menderita serta persaingan pengaruh terhadap raja dikalangan pejabat tinggi kerajaan.
Tapi kudeta harus pula ditebus dengan kudeta. Kekuasaan I Gusti Agung Maruti akhirnya tergusur melalui perebutan kekuasaan kembali oleh Dalem yang dilakukan I Gusti Agung Jambe Putra Bungsu Dalem Dimade.
Melalui pertempuran sengit, pasukan I Gusti Agung Jambe yang dibantu oleh laskar Sidemen, Buleleng, Badung, Taman Bali dan lain-lain akhirnya berhasil menyingkirkan I Gusti Agung Maruti dan keluarganya. Sejak saat itu pula pusat kerajaan yang tadinya berada di Gelgel dipindahkan ke Semarapura. Akibat perebutan kekuasaan tersebut I Gusti Agung Maruti yang sempat memerintah selama 30 tahun (1656-1686) merelakan saudara-saudara dan para pendukungnya melarikan diri bercerai berai tidak menentu. Banyak terpaksa melepas gelar kebangsawanannya (nyineb wangsa) untuk tidak dikenali oleh pengikut Dalem. Mereka tersebar kemana-mana, ada yang ke Jimbaran, Desa Sayan, Suwung, Batuyang, Kapal, Keramas, Celuk Penebel, Klungkung, Buleleng, Gianyar dan lain-lain.
Rupanya derita itu akhirnya membawa nikmat juga karena keturunan I Gusti Agung Maruti pula kemudian yang menjadi cikal bakal kelahiran kerajaan Mengwi (I Gusti Agung Made Agung), di samping kelahiran Puri Keramas ( I Gusti Agung Putu Agung).
Ada kisah menarik dari tokoh I Gusti Agung Putu Agung dan I Gusti Agung Made Agung ini.
Dalam babad Mengwi diceritakan bahwa I Gusti Agung Putu Agung memiliki adik masing-masing bernama I Gusti Istri Ayu Made dan I Gusti Agung Made Agung. Versi lain menyebutkan beliau empat bersaudara yaitu saudara perempuan terkecil bernama I Gusti Agung Istri sasih menikah dengan Brahmana Kemenuh. I Gusti Istri Ayu Made terkena sakit bingung, tidak tahu akan dunia dan Puri Keramas. Banyak para ahli obat datang memberikan pertolongan tetapi tidak ada yang mampu mengobatinya. Mendengar keadaan ini lalu I Gusti Agung Made Agung yang pada waktu itu berkuasa di Kapal, meminta ijin agar kakaknya itu bisa diobati ke Kapal. Dengan seijin kakaknya itu pula lalu I Gusti Istri Made diajak ke Kapal untuk selanjutnya dimohonkan bantuan pengobatan kepada seorang Bhiksu sang pandhya Wanasara. Dengan kemampuan sang Pandita ini pula, I Gusti Istri Ayu Made dapat disembuhkan. Namun setiap kali sang Pandita pergi meninggalkan tempat, penyakit I Gusti Istri Ayu Made selalu saja kambuh lagi. Akhirnya dengan persetujuan I Gusti Agung Made Agung, sang Pandhita dinikahkan dengan I Gusti Istri Ayu Made. Sejak itu pula penyakit I Gusti Istri Ayu Made tidak pernah kambuh lagi bahkan mereka tampak hidup rukun dan bahagia. Tapi sayang, I Gusti Agung Putu yang mendapat khabar gembira itu merasa sangat tersinggung berat dan sangat marah karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya sama sekali kepada beliau. Kemarahan yang memuncak dan tidak terkendalikan itu berakibat fatal dengan dibunuhnya sang pandita oleh I Gusti Agung Putu yang berkuasa di Keramas. Akibatnya Sang Pandita sebelum sampai ajalnya mengeluarkan kutukan yang antara lain berisi bahwa I Gusti Agung Putu sampai turunannya tidak akan pernah bisa menjadi raja karena membunuh pendeta yang tidak berdosa. Disamping itu kepada I Gusti Agung Made Agung dan turunannya terkena pula kutukan terkena sakit gila yang tidak habis-habisnya, karena mempersembahkan adiknya kepada pandita waktu sakit gila. Kematian sang pandita tentu saja membuat rasa terkejut yang sangat dalam di hati I Gusti Agung Made Agung. Rasa duka yang sangat dalam dari I Gusti Agung Made Agung menyebabkan pula beliau berikrar bahwa sejak saat itu tali persaudaraan dengan I Gusti Agung Putu terputus sama sekali dan keturunan I Gusti Agung Made Agung yang perempuan tidak lagi diperkenankan memakai nama Made seperti yang dimiliki oleh I Gusti Istri Ayu Made (Babad Mengwi, 2002:27-33).
Kembali mengenai I Gusti Agung Made Agung, dari perkawinannya dengan Ni Gusti Luh Bengkel putri dari Kiyai Bebengan kemudian melahirkan seorang putra yang bernama I Gusti Agung Putu. Dalam kisah selanjutnya, I Gusti Agung Putu sempat dikalahkan dalam sebuah peperangan ketika menghadapi I Gusti Batu Tumpeng yang tinggal di desa Kekeran. I Gusti Agung Putu sempat ditawan dan diserahkan kepada penguasa di Tabanan. Namun tak lama kemudian, I Gusti Agung putu diserahkan kepada penguasa di Marga. Dengan segala suka duka dan romantika kehidupannya, kemudian I Gusti Agung Putu berhasil kembali bangkit dan menundukkan satu demi satu wilayah yang sempat pernah dikuasai sebelum kekalahannya melawan I Gusti Batu Tumpeng. Bahkan perang tanding melawan Pasek Badak dari Buduk dengan mempertaruhkan negerinya dan rakyatnya masing-masing sempat dimenangkan I Gusti Agung Putu. Begitu luasnya kekuasan beliau (sampai ke Blambangan Jawa Timur), lalu beliau di beri gelar I Gusti Agung Ngurah Agung Bima Sakti (Cokorda Sakti Blambangan) dan dinobatkan sebagai raja Mengwi I. Beliau mempunyai beberapa orang istri, masing-masing bernama I Gusti Ayu Pandji (memiliki dua orang putra yaitu I Gusti Agung Ratu Pandji dan I Gusti Agung Ketut Buleleng) ; 2. Ni Gusti Luh Pacung (memiliki putra I Gusti Agung Pacung dan I Gusti Agung Ayu Pacung) ; 3. I Gusti Luh Kamasan (memiliki putra angkat I Gusti Agung Made Kamasan) ; 4. I Gusti Luh Penarungan (memiliki putra I Gusti Agung Wayan Penarungan); 5. I Gusti Luh Mambal (memiliki putra I Gusti Agung Made Mambal dan I Gusti Agung Ketut Lebah); 6. I Gusti Luh Toya Anyar (memiliki putra I Gusti Agung Made Banyuning, berperan di Desa Sayan yang kemudian pindah ke Bongkasa dan I Gusti Agung Ayu Suci yang dijodohkan dengan I Gusti Agung Wayahan Dawan (terkenal pula dengan nama I Gusti Agung Gede Jelantik, seorang putra Raja Karangasem keturunan Pangeran Nyuh Aya). Sedangkan dari permaisuri yang ketujuh yaitu I Gusti Luh Alangkajeng memiliki putra I Gusti Agung Ayu Alangkajeng, I Gusti Agung Made Alangkajeng dan I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng (lihat lampiran: 1.3 dan 1.4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar