1.3. Uwug Kengetan (± 1700 -1820)
Dari ketujuh orang istri dengan 13 orang putra/ putri tersebut, salah seorang diantaranya adalah I Gusti Agung Ayu Suci, putri Cokorda Sakti Blambangan raja Mengwi dari hasil perkawinannya dengan I Gusti Luh Toya Anyar (Keturunan Arya Gajah Para). I Gusti Agung Ayu Suci seperti telah disinggung diatas, mempunyai seorang saudara laki-laki dari satu ibu yang bernama I Gusti Agung Made Banyuning.
Sebagai seorang wanita, I Gusti Agung Ayu Suci dijodohkan dengan putra raja Karangasem yang bernama I Gusti Agung Wayahan Dawan atau sering pula dikenal dengan nama I Gusti Agung Gede Jelantik, dengan status nyentana. Sebagai sama-sama keturunan Sri Naraya Kresna Kepakisan (I Gusti Agung Ayu Suci, keturunan Pangeran Asak dan I Gusti Agung Wayahan Dawan keturunan Pangeran Nyuh Aya). Hal seperti ini sudah lumrah dilakukan dalam adat perkawinan umat Hindu. Disamping untuk memperkuat jalinan tali persaudaraan, pada masa jaman kerajaan perkawinan seperti ini akan dapat lebih memperkokoh kekuasaan para raja untuk tidak saling serang menyerang.
Sebagai seorang anak raja yang berstatus purusa, I Gusti Agung Ayu Suci juga memperoleh daerah kekuasaan dari ayahandanya raja Mengwi, berupa wilayah kerajaan di desa Kengetan dengan iringan rakyat sebanyak 500 orang.
Pemerintahan I Gusti Agung Ayu Suci dengan I Gusti Agung Wayahan Dawan (I Gusti Gede Jelantik), di Kengetan sangatlah makmur, damai dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Hal ini bisa dimengerti karena I Gusti Agung Wayahan Dawan sebagai seorang pendamping raja adalah seorang figur yang sangat menguasai masalah pemerintahan dan masalah agama.
Dari pernikahan I Gusti Agung Ayu Suci dengan I Gusti Agung Wayahan Dawan (I Gusti Agung Gede Jelantik) lahirlah tiga orang putra masing-masing bernama I Gusti Agung Putu Kaler yang kemudian diberikan kedudukan di Katiklantang (Jukut Paku) yang kemudian sempat diselong (hukum pengucilan) ke Nusa Penida dan kemudian menetap dan menurunkan keturunannya di Puri Karangjung, Puri Nyelati dan Kuwum.
Putra yang kedua bernama I Gusti Agung Made Griya yang kemudian menggantikan kekuasaan beliau di Kengetan dan sempat melarikan diri mengungsi ke Sanur, Cemenggon-Penarungan untuk kemudian menurunkan keturunannya di Puri Sembung. Sedang putra yang ketiga adalah I Gusti Agung Gede Samu diberi kedudukan di Samu dan kemudian sempat mengungsi akibat Uwug Kengetan ke Banjar Samu untuk kemudian menurunkan keturunannya di Puri Banjar Samu dan Sigaran.
Tercerai berainya ketiga keturunan beliau yang ada di Kengetan, Katiklantang dan Samu terkait erat dengan peristiwa pada masa hancurnya pemerintahan di Kengetan. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan I Gusti Agung Putu Kengetan di Kengetan dan I Gusti Agung Putu Kaler di Katiklantang serta I Gusti Agung Made Jelantik di Samu (pada masa pemerintahan generasi ke empat dari I Gusti Agung Ayu Suci dan I Gusti Agung Wayakan Dawan (lihat lampiran: 1.5).
Berikut untuk lebih lengkapnya kami kutipkan cerita hancurnya (uwug) kengetan seperti dimuat dalam buku sejarah silsilah keturunan keluarga Swa Wandawa Sembung Karangjung Mengwi susunan I Gusti Gede Oka Puger, Ketua Pertama perhimpunan Swa Wandawa tersebut.
Diceritakan Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan, sesudah beliau menetap berstana di Kengetan, ditetapkan menjadi bahu danda oleh Shri Aji Manguraja. Disebabkan oleh kemahiran beliau dalam bidang perundang-undangan, seperti Rajaniti, jadinya tidak ragu-ragu beliau memerintah Negeri. Itulah sebabnya maka rakyat semua taat dan cinta kepada beliau. Sekali saja beliau mengeluarkan perintah, segalanya beres.
Sesudah beberapa lama kedudukan di Kengetan, maka beliau memperoleh putera tiga orang, yang sulung bernama I Gusti Agung Putu Kaler, yang menengah I Gusti Agung Made Geriya, dan yang bungsu diberi nama I Gusti Agung Gde Samu.
Sesudah mereka ini menanjak Dewasa, adalah minat dari ayah beliau akan memberikan kedudukan kepada mereka itu disertai wadua (pengiring).
I Gusti Agung Gde Samu diberi kedudukan di desa Samu, dan diberi wadua seratus lima puluh orang. I Gusti Agung Putu Kaler berkedudukan di desa Katiklantang, diberi wadua seratus orang. I Gusti Agung Made Geriya tetap berkuasa di Kengetan, sebagai pengganti ayah beliau. I Gusti Agung Gde Samu : Entah beberapa lama beliau bermukim di Desa Samu, maka beliau memperoleh putera seorang, bernama I Gusti Agung Nyoman Jelantik. I Gusti Agung Made Geriya berputera I Gusti Agung Nyoman Kengetan. I Gusti Agung Putu Kaler berputeran seorang bernama I Gusti Agung Ketut Jelantik.
I Gusti Agung Ketut Jelantik menurunkan I Gusti Agung Gde Jelantik, tetapi malang belaiu ini tidak paham huruf. Beliau menurunkan putera yang bernama : I Gusti Agung Putu Kaler, yang menengah I Gusti Agung Made Geriya, dan yang bungsu bernama I Gusti Agung Nyoman Jelantik. I Gusti Agung Nyoman Kengetan menurunkan I Gusti Agung Made Penidha. I Gusti Agung Nyoman Jelantik di Desa Samu berputera I Gusti Agung Gde Samu, dan I Gusti Agung Gde Samu ini menurunkan I Gusti Agung Made Jelantik. I Gusti Agung Made Penidha di Kengetan mempunyai dua orang putera yang bernama : I Gusti Agung Ketut Geriya, adik beliau bernama I Gusti Agung Putu Kengetan.
Entah telah berapa lamanya maka wafatlah I Gusti Agung Gde Jelantik, I Gusti Agung Made Penidha dan I Gusti Agung Made Samu. Mereka berpulang ke alam baka, menuju sorganya masing-masing sudah diadakan pula upacara pitera yadnya sebagaimana mestinya, dibakar jenazahnya di kuburan, beserta alat-alatnya, melalui upacara pitra yadnya yang diselenggarakan oleh para keturunan beliau dengan baik.
Sekarang diceritakan raja di Gianyar sangat berkeinginan akan menaklukan negara-negara. Kengetan, Samu dan Katiklantang. Beliau mengutus petugas-petugas beliau dengan membawa surat, ditujukan kepada mereka yang berkuasa di Kangetan, Samu dan Katiklantang. Maksud surat itu ialah agar ketiga beliau yang berkuasa di kerajaan tersebut ingkar bakti kepada Raja di Manguraja (Mengwi) dan hendaknya berkenan berbaik dengan Raja Gianyar.Sekarang marilah kita ceritakan kembali mereka yang bersemayam di Kengetan, Samu dan Katiklantang. Setelah beliau – beliau itu menerima surat dari Raja Gianyar tersebut, dan setelah membaca dan mengetahui maksudnya, maka beliau yang bersemayam di Kangetan dan Samu segeralah membuat surat balasan yang isinya, bahwa mereka itu tidak menyetujui permintaan Raja Gianyar, walaupun kerajaan beliau akan menjadi kubangan budak. Sedangkan beliau yang bersemayam di Katiklantang tidaklah memberikan jawaban dengan surat, melainkan menjawabnya hanya secara lisan belaka, yang menegaskan bahwa beliau tidak sudi menyetujui permintaan Raja Gianyar dimaksud.
Tidak diceriterakan beliau yang berkuasa di Katiklantang, sekarang tersebutlah ada seorang wangsa wesya bertempat tinggal di Katiklantang. Orang itu mengetahui hal-ikhwal yang berkuasa di Katiklantang telah menerima surat dari Raja Gianyar; maka segeralah ia menghadap Raja Manguraja (Mengwi), memaklumkan hal-hal yang menyangkut diri yang berkuasa di Katiklantang itu.
Setelah itu maka bangkitlah murka Raja Manguraja, lalu memerintahkan memukul kentongan dengan maksud akan menghancurkan desa Katik lantang. Setelah amarahnya tak tertahan lagi, maka berangkatlah menuju desa Katiklantang, dan setelah digeledah puri di Katiklantang, maka kedapatanlah surat bersangkutan diparba tempat peraduan yang berkuasa di Katiklantang. Setelah diserahkan kepada yang berkuasa di Mangaraja, maka beliau memerintahkan untuk mengusir yang berkuasa di Katiklantang ke Nusa Panida. Sekarang Si Wesya inilah diangkat untuk bertugas di desa Katiklantang.
Entah sudah berapa lamanya, I Gusti Agung Putu Kaler, I Gusti Agung Made Geriya dan I Gusti Agung Nyoman Djelantik beserta sanak keluarga beliau berada di Nusa Panida, beliau meninggalkan putera dua orang, (peria dan wanita), bernama I Gusti Agung Kompiang Geriya dan adik beliau bernama I Gusti Agung Ayu Karang.
Konon tersebutlah I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Ketut Geriya dan I Gusti Agung Made Jelantik, demikian pula wesya yang bertugas di Katik Lantang, kebetulan mereka itu mengadakan pertemuan dengan para pembantu pembantunya, tiba-tiba datanglah pelarian-pelarian, yaitu orang-orang dari perbatasan negerinya, dengan mempermaklumkan, bahwa perajurit Gianyar sedang mengurung negara beliau itu, lengkap dengan senjata, perbekalan dan kendaraan.
Maka gemparlah beliau-beliau yang menguasai masing-masing desa itu, serta memerintahkan memalu kentongan dan mengerahkan rakyat, sebab maksud beliau lekas-lekas menghalau sateru.
Tidak diceritakan malam itu, maka setelah fajar menyingsing di ufuk timur, berangkatlah I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Made Jelantik serta yang bertugas di Katiklantang, dengan habis-habisan rakyat mengiring, lalu mereka mulai berperang, luar biasa ramainya, kejar – mengejar, mati-dimatikan, dan sama-sama banyak yang mati dan luka.
Karenanya, undurlah bala Kengetan, Samu dan Katiklantang, payah serta mengendap-endap dan dibiarkan oleh I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Made Jelantik, dan yang bertugas di Katiklantang, yang sama-sama maju kedepan mengamuk menyerbu musuh, dan ramailah peperangan itu, sama-sama tidak mempan oleh senjata, apalagi I Gusti Agung Putu Kengetan dan I Gusti Agung Made Jelantik, sama-sama tangkas-cekatan dalam peperangan, demikian pula sangat perkasanya yang bertugas di Katiklantang.
Oleh karena kebanyakan lawan, maka terdesaklah ketiga pahlawan itu dalam pertempuran, ditinggalkan oleh para perajuritnya, semuanya sama-sama mundur, tidak dapat ditahan lagi, lari tunggang langgang, sama-sama menuju kebelakang atau ke desa-desa lain. Maka tersebutlah I Gusti Agung Putu Kengetan menghindarkan diri menuju ke Desa Sanur, menumpang pada tempat kediaman wangsa Berahmana di Buruan.
I Gusti Agung Ketut Geriya menuju desa Cemenggon Penarungan, I Gusti Agung Made Jelantik menuju ke dusun Banjar Samu, diikuti oleh orang-orangnya yang masih hidup. Penguasa di Katiklantang ke Karangenjung-Sembung.
Kembali dilanjutkan apa yang diceritakan di depan, setelah mangkatnya I Gusti Agung Made Geriya di Nusa Penida, beliau meninggalkan dua orang putera, yang sulung bernama I Gusti Agung Kompiang Geriya, yang bungsu bernama I Gusti Agung Ayu Karang.
Tersebutlah I Gusti Agung Putu Kaler beserta I Gusti Agung Nyoman Jelantik dengan putera-puteranya; beliau itu sangat bersedih di dalam hati, karena dibuang di Nusa Penida; sebab itu beliau bersama-sama bermusyawarah, tidak lain yang dibicarakan, hanyalah keinginan beliau akan meninggalkan Nusa Penida. Maka pada suatu tengah malam, beliau bersama-sama menuju ke pantai laut; hanya I Gusti Agung Kompiang Geriya tinggal disana. Setiba mereka di tepi laut, maka berjumpalah belaiu dengan seorang pelaut, yang membawa perahu pemancing ikan.
Maka bersabdalah I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik dengan halus dan lemah lembut, minta bantuan agar beliau diantar sampai di desa Kusamba. Pelaut itu menerima baik permintaan itu.
Setelah tiba dipantai Kusamba, maka I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik berkenan memberikan ganjaran kepada nelayan itu. Apakah ganjaran beliau itu?
Tidak lain diajarkan japa mantram untuk memberi pasu pati (tuah) atas pancing dan “penguncur mina”. Maka bersujud dan berterima kasihlah pelaut itu.
Setelah itu maka I Gusti Agung Kaler beserta I Gusti Agung Nyoman Jelantik serta sanak keluarga beliau sekaliannya berangkat menju ibu kota Swecalinggarsa Pura.
Entah berapa lama beliau-beliau itu berdiam disana, maka I Gusti Agung Ayu Karang diperisteri oleh seorang bangsa Satriya Sukahat, yang kemudian menurunkan Ki Dewa Sabug.
Entah berapa lama berduka cita hatinya I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik berada di Swecalinggarsa itu, maka berangkatlah beliau bersama-sama dari sana menuju ke barat, dan sampailah beliau-beliau itu di desa Balahayu, dan di sanalah beliau mencari kawan tak lain kepada yang berkuasa di situ.
Sesudah beberapa hari lamanya, maka menghadaplah yang berkuasa di Balahayu kepada raja di Mangaraja, untuk mempermaklumkan perihalnya I Gusti Putu Kaler dan I Gusti Agung Nyoman Jelantik mengungsi di sana.
Setelah itu maka raja mengirim utusan untuk menghabiskan nyawa keduanya itu.
Tidak disebutkan maka sekarang telah terbunuhlah mereka yang mengharapkan pertolongan itu di sebelah Selatan Desa Balahayu, di pinggir sungai Sungi, berdekatan dengan tempat persembahyangan Pura Tungkub, dan dimakamkan di sana.
Demikianlah, sekarang marilah diceritakan setelah wafatnya I Gusti Agung Putu Kaler; adalah beliau meninggalkan seorang putera yang masih kecil yang sangat tampan parasnya, bernama I Gusti Agung Nyoman Sengguan, sangat kasih sayanglah yang berkuasa di Balahayu kepada anak kecil itu, lalu dimohonnyalah kepada yang bertahta di Mangaraja, agar diperkenankan anak itu terus hidup, hal mana dapat perkenan dari raja.
Sesudah beliau Dewasa, lalu beliau mencari tempat tinggal, yaitu di desa Kerangenjung-Sembung.
Sekarang beralih ke I Gusti Agung Ketut Adi, putera dari I Gusti Agung Putu Kangetan, yang bersembunyi di Sanur. Beliau sekarang mencari tempat tinggal di lingkungan desa sembung.
Setelah tetap kedudukan beliau-beliau itu di Karangenjung dan Sembung tersebutlah Raja Mangaraja bermusuhan dengan beliau yang berkuasa di Wratmara; Maka tersebutlah I Gusti Agung Kompiang Geriya, putera dari I Gusti Agung Made Geriya yang telah wafat di Nusa Penida, datang sujud menghadap kepada Raja Semarapura, serta beliau berdatang sembah dengan harum manis, sembah beliau : Maaf duli Tuanku, oleh karena Sri Paduka Tuanku sekarang dalam peperangan dengan yang berkuasa di Marga, sekarang sudi apalah kiranya Sri Paduka Tuanku mengorbankan jiwa-ragaku si Geriya ini di medan laga. Permohonan hamba hanyalah, sudi kiranya meninjau/menyaksikan perbuatan hamba. Di kala hamba Paduka Tuanku gugur di medan bukti, permohonan hamba Tuanku hanyalah agar sanak keluarga hamba yang berada di Karangjung-Sembung dan Banjar Samu, sudi Paduka Tuanku mengampuni karena kekurangnnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar