Uraian singkat ini adalah wujud rasa hormat penulis kepada almarhum I Gusti Agung Ngurah Rai Ardana (wafat tanggal 14 Maret 2008), dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa (wafat tanggal 21 Juni 2008), I Gusti Agung Ngurah Sumerta, ST (wafat tanggal 1 Juli 2008), dan I Gusti Agung Putu Panji Wirawan (wafat tanggal 9 Agustus 2008). Saat mendengar berita kepergian beliau, penulis hanya terdiam namun di sisi lain benak dan pikiran terbawa oleh kesan penulis pada almarhum ketika beliau masih ada. Ketika dialog antar pribadi masih terjalin, banyak hal yang telah terbangun, wujudnya adalah kesan penulis tentang almarhum. Bangunan itulah yang ingin penulis ungkapkan di sini. Namun kemampuan menuangkan dalam tulisan adalah faktor keterbatasan penulis. Sehingga pastilah tulisan ini banyak kekurangannya. Sekali lagi, kekurangan itu bukan terletak pada “bangunan yang telah terwujud itu”, tetapi semata-mata pada cara penulis mengekspresikannya.
Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai wujud simpati pada keluarga yang ditinggal yang dalam keseharian selanjutnya tanpa didampingi orang yang dicinta itu. Pastilah kepergiannya dirasa sebagai kehilangan; kehilangan suami, kehilangan ayah, kehilangan kakek, dan banyak wujud kehilangan lain. Tetapi di atas semua kehilangan itu ada satu wujud kehilangan yang sangat berarti yaitu kehilangan tempat berbagi; tempat mencurahkan kegembiraan saat bergembira dan tempat bersandar pada saat berada pada kesedihan. Betapapun beratnya perpisahan ini namun harus diterima apa adanya. Semua ini terjadi karena kehendak ”Keberadaan Yang Tertinggi” di atas sana. Sebagai manusia kita hanya menjalani saja.
1. I Gusti Agung Ngurah Rai Ardana
Sejak masih kanak-kanak beliau dikenal punya otak cerdas. Setamat sekolah beliau mengabdikan diri sebagai PNS pada Kantor Wilayah Departemen Perdagangan di Denpasar. Beliau adalah tipe pekerja keras dan karena prestasinya dipercaya memegang berbagai jabatan penting. Beliau pernah mendapatkan penugasan di Lampung dan mendekati usia pensiun ditugaskan di Surabaya. Dari pernikahannya dengan I Gusti Ayu Alit, beliau dikaruniai 6 anak (4 perempuan dan 2 laki-laki). Satu hal yang membanggakan adalah beliau bersama istri telah berhasil mengantarkan putera-puterinya bisa mandiri. Dalam berbagai kegiatan usaha, beliau suka bereksperimen. Pengelolaan bemo pernah dilakoni yang memang ketika itu kalkulasinya menguntungkan. Ketika peternakan ayam petelor menjanjikan, beliau menekuni usaha itu dan mengadakan kerja sama dengan perusahaan jamu Cap Jago sebagai penampungan hasil telornya. Ada satu hobi yang beliau tekuni hingga menjelang akhir hayatnya yaitu merawat tanaman bunga dan anggrek. Hobi yang tidak hanya memberikan kesejukan , tetapi juga kecintaan lewat keindahan bunganya. Hobi yang cocok dengan suasana kebatinan menjelang seseorang memasuki usia pensiun. Beliau berpendapat, kedepan keperluan akan bunga terus meningkat. Tidak hanya sebatas keperluan sarana sembahyang dan hiasan tetapi telah merambah dalam berbagai wujud ekspresi baik sebagai simbul kegembiraan atau rasa duka. Pendek kata bunga punya seribu satu makna, yang tentu ke depan semakin banyak ungkapan menggunakan bahasa bunga. Bunga telah menjadi mata dagangan dan bila ditekuni secara serius nilai rupiahnya bukan main.
Selanjutnya semenjak pensiun beliau banyak berkecimpung dalam kegiatan sosial keagamaan. Beliau mendapat kehormatan dikukuhkan sebagai uger di Pura Dalem Paruman Sembung. Bersama masyarakat beliau melakukan pemugaran pura secara besar-besaran. Demikianlah hari-hari beliau penuh berbagai aktivitas. Kesibukan itu rupanya menyebabkan beliau keasikan sehingga selalu merasa sehat, padahal sudah mulai ada gejala gangguan kesehatan. Sesuatu yang sulit dipercaya kesehatan beliau semakin menurun dan di luar dugaan pada 14 Maret 2008 beliau wafat. Saat mendengar berita tentang kepergiannya itu ada keragu-raguan tentang kebenaran berita itu, karena tiga hari sebelumnya penulis sempat membesuk beliau ke rumah sakit Sanglah. Kami berombongan empat orang, yaitu penulis disertai istri, dan I.G.B. Puspanegara juga disertai istri. Di rumah sakit sudah ada putra-putri dan menantu beliau yang dengan cinta kasih mendampingi beliau. Ruang perawatan yang ber-AC itu membuat kami menggigil kedinginan, mungkin disebabkan kami baru saja datang dari luar yang udaranya gerah. Kami mengucapkan salam, setelah itu perhatian kami terfokus pada beliau. Atas kedatangan dan simpati kami, dengan sangat lirih beliau mengucapkan terima kasih. Kami sempat berdialog dan ternyata pikiran beliau masih jernih, kata-katanya bisa kami tangkap. Beliau ingin lebih lama bercerita menyampaikan pikiran dan perasaan beliau, namun kami sadar dengan tulisan yang terpampang di pintu masuk “harap tenang”, membuat kami membatasi diri. Pikiran kami biarlah nanti setelah beliau sembuh dialog itu diteruskan lagi. Sesaat suasana hening, terlihat beliau memejamkan kelopak mata kemudian terdengar suara liruh, menyampaikan keluhan tentang penyakit beliau. Dari putera-puteri beliau terdengar jawaban agar beliau tabah dan bersabar, semua berdoa untuk kesembuhan beliau. Setelah itu semua diam, tak ada yang memulai percakapan. Suasana jadi hening. Sayup-sayup terdengar mesin pantau kesehatan yang memperlihatkan gerak grafik pada layar mesin itu. Semua pandangan terarah kesana. Penulis tak paham arti gerak grafik itu, tetapi di tengah-tengah ketidak mengertian itu ada niatan menanyakan apa arti semua itu. Niatan itu beralih pada gerakan putra-putri dan menantu beliau yang secara sigap membenahi letak bantal dan selimut dengan belaian kasih. Lewat belaian kasih itu penulis menemukan mutiara kehidupan yang tidak ternilai. Dalam keadaan sakit seperti itu peran keluarga semakin berarti. Sebab tanpa mereka sepertinya kita tak memiliki apapun. Memang banyak handai-taulan yang datang, tetapi mereka tidak sama seperti keluarga yang terus merawat dan memperhatikan. Cinta adalah sesuatu yang paling utama. Tak ada yang menggantikan peran itu. Perlahan seorang perawat mendekat, memeriksa kondisi beliau. Ia lanjut menyuntikkan obat pada cairan infus yang tergantung di atas sana. Beliau terdiam dan nampak tanda-tanda mengantuk. Kami semua diam, tak ada percakapan sama sekali hingga beliau terlelap. Karena sudah cukup lama di sana, kami berempat mohon pamit. Sesaat beliau terjaga dan memandang ke arah kami disertai anggukan. Betapapun anggukan itu sedikit sekali tetapi maknanya cukup kami pahami. Beriringan kami keluar dari ruang perawatan itu. Di sepanjang perjalanan tak ada obrolan yang kami lakukan. Hanya satu-dua patah kata yang terdengar, masing-masing terbawa pikirannya sendiri. Di tengah-tengah kebisuan itu ada satu hal yang tak terucapkan yaitu doa untuk kesembuhan beliau. Sungguh sayang harapan itu tidak terpenuhi karena tiga hari setelah itu beliau berpulang. Sebuah berita yang mengejutkan dan menyisakan rasa duka yang mendalam. Tidak terbayangkan kepergiannya itu karena beliau masih dalam usia relatif muda. Sekali lagi kita kehilangan seorang panutan tempat kita bertanya dan berbagi dalam suka dan duka. Mengapa ini harus terjadi? Sebuah pertanyaan yang tak bisa dijawab.
Penuturan banyak orang, kehidupan ini sama alaminya dengan kematian itu sendiri, bagian dari proses yang kita jalani. Keduanya diliputi berbagai misteri. Tiada pernah usai bila dipertanyakan. Tidak ada jawaban yang bisa mengungkap rahasia di dalamnya. Porsi kita sebatas penyelenggaraan upacara ritualnya semata agar Sang Hyang Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan sarira (raga sarira, suksma sarira) segera bisa kembali ke alam pitra (asalnya). Begitu juga unsur sariranya bisa kembali ke asal. Prinsipnya ritual tersebut adalah penyucian dan sastra menyebutkan pahalanya besar bagi siapapun yang membantu kelancaran prosesi itu. Siapapun membantu, dari alam sana, dianugerahkan aura berupa ketenangan dan kesabaran dalam memaknai kehidupan dunia ini. Sebuah tuntunan yang baik bagi bahan renungan karena berbagai sumber menyebutkan barang siapa melakukan hal-hal yang berguna (subhakarma), dia membebaskan dosa sepuluh tingkat leluhurnya, sepuluh keturunannya dan ia sendiri adalah yang kedua puluh satu. Penulis meyakini ada Keberadaan Tertinggi yang menciptakan semua ini. Terpujilah bagi siapapun yang menjadikan itu sebagai pedoman.
Satu hal yang penulis kagumi adalah tentang ketegaran keluarga yang ditinggalkan. Mereka nampak tenang dan bersabar. Pada gurat wajahnya, tak nampak ada keputus-asaan dan kebingungan atas cobaan ini. Sebagai wujud hormat dan bakti kepada orang tua, mereka telah memberikan yang terbaik bagi almarhum dari sejak perawatan hingga prosesi pengabenan. Tamu yang datang mereka sambut dengan ramah begitu pula saat mereka pamit, diantar sembari mengucapkan terima kasih. Kiranya dari alam sana, almarhum tetap memberikan perhatian bagi keluarga yang beliau cinta itu.
Kiranya sudah saatnya kita mengikhlaskan kepergiannya dan bagi pihak keluarga diharapkan tetap bergandengan tangan satu sama lain dan jangan biarkan kesedihan ini sampai berlarut-larut. Semoga.
2. Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa
Matahari baru saja condong ke barat. Sinarnya redup. Sebuah mobil sarat penumpang berhenti di parkiran Jero Kuwum. Keempat pintunya terbuka dan satu persatu penumpang turun. Di sana ada Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa beserta Istri dan peserta lain dalam mobil itu adalah I Gusti Agung Ketut Raiwati (Ibu Penulis), I Gusti Agung Ayu Rai (kakak dari Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa), Ny. I Gusti Agung Made Oka Wirya, I Gusti Agung Ayu Rai (Istri dari I Gusti Agung Ketut Putra). Ada 2 peserta lain yang umurnya masih muda yaitu I Gusti Agung Ayu Mas Silawati duduk di belakang stir mobil dan satunya lagi Kadek Indrawati menantu dari I Gusti Agung Made Oka Wirya. Seturun dari mobil langsung menuju Saren Anyar. Disebut Saren Anyar karena banguanan itu yang terakhir dibuat sehingga untuk membedakan dengan bangunan lain, nama itu diberikan. Bangunan itu terdiri dari 2 kamar yang fungsinya semata- mata sebagai gudang tempat menyimpan barang-barang keperluan upacara. Di depan kamar itu ada ruang terbuka yang difungsikan sebagai tempat duduk dan aktivitas mempersiapkan keperluan upacara. Sudah biasa tamu yang datang dipersilakan di sana. Tidak seperti biasa, yang datang kali ini memilih duduk di bawah, di pinggiran lantai menghadap ke selatan. Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa dan istri duduk paling barat, dan yang lain di sebelah timurnya. Duduk seperti itu terasa lebih nyaman karena kaki bisa dijulurkan ke bawah. Penulis masih ingat hari itu, Minggu tanggal 1 Juni 2008. Saat itu tidak banyak terdengar obrolan, hanya terdengar satu dua patah kata saja. Mungkin dikarenakan ada suara berisik dari aktivitas tukang bangunan yang tengah mengerjakan renovasi merajan. Perhatian terfokus kearah sana. Sekitar 10 menit kemudian ibu penulis membagikan senteng, lanjut mempersilakan semua menuju ke merajan. Sesampai di halaman merajan, Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa mengedarkan pandangannya ke pelinggih- pelinggih yang direnovasi itu lanjut bersama- sama duduk di atas tikar menghadap Sanggar Agung. Setelah sarana berupa bunga dan dupa siap, persembahyangan dimulai. Setelah persembahyangan selesai, kembali lagi duduk di Saren Anyar. Di sana telah disediakan jeruk dan beberapa jenis buah-buahan lain. Karena segera harus berangkat ke bandara Dr. I Gusti Agung Adhi Yasa dan Istri mohon pamit. Penulis mengulurkan tangan untuk bersalaman dan beliau membalasnya sembari mengucapkan kata “Rahayu”, lanjut berjalan menuju tempat parkir. Dari atas mobil beliau melambaikan tangan dan kendaraan yang dikemudikan I Gusti Agung Ayu Mas Silawati itu perlahan bergerak menuju arah Denpasar. Demikian suasana perjumpaan terakhir yang masih terbayang.
Kemudian tiba pada Sabtu malam tanggal 21 Juni 2008 ada berita yang sangat mengagetkan, beliau diberitakan meninggal dunia. Semua terdiam, tak ada kata yang bisa diucapkan. Ibu penulis merasa sangat terpukul oleh pemberitaan itu, beliau tertunduk dan terkulai sembari mencucurkan air mata. Kesedihannya tiada terbendung. Beberapa kali nama almarhum disebutnya dengan suara terbata- bata. Sesaat beliau melihat ke atas, semacam doa untuk almarhum.
Kepergiannya meninggalkan kenangan bagi kita semua. Beliau dikenal sangat tekun, mencintai profesi dokter yang telah menjadi pilihan hidupnya. Beliau adalah dokter pertama di lingkungan keluarga kita, satu gelar akademis yang ketika itu demikian langka. Hanya kalangan yang berotak encer saja yang bisa meraih gelar itu. Beliau pernah bertutur, dokter tidaklah segala- galanya. Profesi dokter tak berbeda dengan profesi lain, sama- sama punya tugas pelayanan. Dokter dan pasien bisa diibaratkan sebagai sebuah tim yang punya tujuan sama yaitu kesembuhan. Porsi dokter dalam membangun kesembuhan hanya sebagian dan bagian lainnya ada pada pasien. Jadi harus ada kerjasama di antara dokter dan pasien itu. Namun harus diyakini, pemilik otoritas tertinggi ada di atas sana, di tangan Tuhan. Sehingga di samping usaha dan kerja keras (dokter dan pasien), doa tak boleh ditinggalkan.
Ada satu lagi yang ingin penulis ceritakan tentang beliau, yaitu tentang kegemaran beliau menulis. Lewat tulisan itu Beliau ingin berbagi. Adapun dorongan menulis itu muncul setelah beliau membaca sebuah artikel, tentang peristiwa yang menimpa seorang bocah usia 13 tahun ketika berkecamuk Perang Dunia II. Bocah itu bernama Anne Frank yang karena satu sebab dia dan keluarganya jadi incaran serdadu pendudukan Jerman di Belanda. Keluarga itu bersembunyi di sebuah ruangan gedung bertingkat. Sebagai perintang- rintang waktu Anne Frank menulis catatan harian. Semula ia menulis untuk dirinya sendiri. Hingga suatu ketika ia mendengar sebuah stasiun radio di Inggris menyiarkan pidato seorang pejabat Belanda di pengasingan. Pejabat itu berniat mengumpulkan Pelbagai catatan saksi sejarah penderitaan rakyat semasa pendudukan Jerman. Pidato itu memotivasi Anne Frank membuat catatan harian. Kelak jika perang usai dia ingin menerbitkan sebuah buku berdasarkan catatan harian itu. Benar buku itu kemudian terbit sebagai bacaan yang sangat diminati orang. Berdasarkan penuturan almarhum, kisah itu menjadi salah satu faktor pendorong beliau tertarik menulis. Semacam catatan yang merupakan tumpahan pikiran, perasaan, dan apapun yang beliau alami. Beliau menulis apapun yang beliau suka atau tidak suka apa adanya tanpa paksaan. Dari berbagai tulisan yang pernah beliau buat, ada inti sari pemikiran beliau yang pernah dimuat dalam majalah Gema terbitan 29 November 2006. Artikel yang beraroma spiritual dangan pokok bahasan tentang kebenaran dan 8 cara mewujudkannya. Sebuah renungan yang sarat makna. Bila disederhanakan dapat dijelaskan bahwa dalam diri setiap orang ada 2 pribadi, yaitu pribadi yang lebih rendah yang dilahirkan dan terikat pada ilusi dunia material, dan satunya lagi adalah pribadi yang lebih tinggi yang tidak dilahirkan dan tanpa ikatan sama sekali. Untuk bisa meraih kebenaran itu kita harus belajar untuk menemukan jalan menuju pribadi yang lebih tinggi itu. Karena kalau tidak, kita akan tetap jadi budak karma yang dikuasai sepenuhnya oleh berbagai ilusi yang lahir dari ego kita ini. Kita harus menyadari itu dan punya motivasi bahwa saatnya telah tiba untuk mulai belajar. Dari tulisan yang beliau buat itu kita jadi tahu Beliau telah menjalani proses belajar itu. Tentu tidak terbilang makna yang diperolehnya dalam perjalanan untuk menemukan kebenaran itu. Doa penulis untuk Beliau semoga damai di sana. Bagi keluarga yang ditinggal kiranya tetap tabah dan jangan pernah melupakan makna dari artikel yang beliau titip lewat tulisan itu.
3. I Gusti Agung Ngurah Sumerta ST
Ditinjau dari usia beliau terbilang muda. Beliau adalah putera ke-4 dari 10 bersaudara. Dalam profesinya sebagai PNS di lingkungan PLN, beliau dikenal sebagai pekerja ulet, punya semangat pantang mundur dan selalu optimis. Berbicara apa adanya, blak-blakan dan tak suka basa-basi. Singkat kata to the point. Begitulah sikap hidupnya. Sikap yang menjadikan dirinya mudah bergaul, cepat akrab dengan siapapun termasuk dalam hubungan kedinasan dengan atasan. Beliau punya pengalaman luas karena pernah ditempatkan di berbagai wilayah di Maluku. Berbekalkan pengalaman itu, beliau kemudian ditempatkan di Bali. Sebelum ditarik ke Denpasar, beliau pernah bertugas di Tabanan.
Saat penulis masih sebagai PNS di Tabanan, ada rapat pembahasan anggaran. Waktu itu posisi penerimaan daerah tidak dapat menutup belanja yang direncanakan. Solusinya anggaran penerimaan diusahakan meningkat. Semua instansi yang terlibat dalam penerimaan diundang. Dalam relasinya dengan penerimaan, kewenangan PLN adalah pajak penerangan jalan. Dalam rapat itu penulis sempat berdialog dengan almarhum, ternyata almarhum sangat menguasai data. Dengan tangkas semua pertanyaan diresponnya dan karena semangat tanpa sadar Beliau memanggil penulis dengan sebutan “bli”. Terdengar ledakan tawa dari seluruh peserta rapat sehingga suasana berubah yang sebelumnya serius jadi penuh tawa. Selesai rapat penulis sempat bersalaman dan mengundang beliau makan siang. Tetapi Beliau jawab, “Lain kali saja, karena masih ada tugas lain yang menunggu”. Demikian jawab Beliau singkat lalu berjalan kearah pintu keluar. Peristiwa itu yang penulis kenang saat mendengar Beliau diberitakan wafat. Memang cukup lama beliau mendapatkan perawatan medis. Sudah demikian banyak upaya yang dilakukan untuk kesembuhannya. Tetapi pada akhirnya kita dihadapkan pada kenyataan yang selalu ingin kita hindari. Beliau wafat pada tanggal 1 Juli 2008 dan 9 hari berikutnya diselenggarakan upacara ngaben untuk beliau. Kiranya atas doa semua pihak, utamanya istri dan ketiga anak baliau penyelenggaraan upacara dari awal hingga selesai telah berjalan lancar. Dan bagi keluarga yang ditinggal tetap tabah. Semua memanjatkan doa untuk kalian.
4. I Gusti Agung Putu Panji Wirawan
Beliau adalah putra pertama dari I Gusti Agung Made Raka Rapeg dengan empat saudara. Keempat saudara beliau adalah perempuan, dan semua telah menikah. Sejak kecil beliau tinggal di Banjar Nyelati, tepatnya di Jero Nyelati Delodan. Demikian pula pendidikannya yang ketika itu sebutannya adalah Sekolah Rakyat (SD sekarang) dijalani bersama teman-teman sebayanya di Desa Sembung. Karena sejak kecil tinggal di desa, hampir semua warga dikenalnya utamanya generasi yang sebaya dengan beliau. Beliau pernah mengikuti berbagai kursus sebagai kelengkapan atas ijasah yang dimilikinya. Berbekalkan pengetahuan itu beliau pernah tercatat sebagai pegawai tidak tetap di PLN, tetapi tidak lama kemudian mengundurkan diri karena lebih menyukai kehidupan di pedesaan. Kemudian setelah menikah atas desakan orang tua dan istrinya, beliau bekerja di Kantor Pemerintah Daerah. Dalam perjalanan kariernya sebagai PNS, beliau pernah bertugas di Kantor Camat Mengwi dan kemudian di Kantor Camat Abian Semal sampai akhirnya memasuki usia pensiun. I Gusti Agung Putu Panji Wirawan memiliki 3 orang anak terdiri dari 2 laki-laki dan 1 perempuan. Mereka semua telah mandiri. Anak pertama bekerja sebagai PNS di Kantor Bupati Badung. Dari anak pertama beliau mendapatkan seorang cucu perempuan. Kemudian anak kedua adalah polisi yang dulu pernah bertugas di wilayah perbatasan Timor Leste, dengan dua orang anak, yaitu satu laki-laki dan satu perempuan. Selanjutnya anak beliau yang ketiga adalah perempuan, masih gadis yang kini bekerja di California (Amerika Serikat). Kiranya dari apa yang telah dicapai oleh ketiga putra beliau itu, pastilah memberikan satu kepuasan dan kebanggaan bagi beliau dan istrinya. Secara awam bisa disebutkan mereka semua telah jadi orang. Tampaknya kebahagiaan ini tidak lama bisa beliau nikmati. Karena penyakit yang dideritanya, beliau harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sungguh di luar dugaan kondisi kesehatannya terus memburuk dan dokter yang merawatnya tidak berhasil memberikan kesembuhan bagi beliau. Akhirnya beliau meninggal pada Sabtu siang, tanggal 9 Agustus 2008. Seluruh keluarga besar Swa Wandawa berduka atas kepergian beliau.
Dalam relasinya dengan makna kehidupan keempat almarhum telah memberikan yang terbaik menurut caranya masing-masing. Beliau telah sampai di penghujung perjalanan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Namun yang utama bagi kita adalah memetik manfaat dari mutiara kehidupan yang telah beliau torehkan itu. Kiranya torehan itu bisa jadi bahan renungan bagi kita dan generasi selanjutnya.
Semoga.(I Gusti Ngurah Suryanegara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar