Himbauan

Para Anggota Pesikian Swa Wandawa Yth, tolong isi poling berikut ini. Terimakasih.

Apa pendapat anda tentang keberadaan Merajan Ageng Karangenjung?

kori

kori
puri karangenjung
Powered By Blogger

Jumat, 08 Juli 2011

Menentukan Pilihan Karir

Hidup ini memang penuh dengan aneka ragam. tetapi menentukan atau memilih karir bukanlah keputusan yang main-main. Memilih karir tidak sama dengan memilih barang yang ingin anda beli, anda harus teliti, cermat, dan konsisten. sekali saja anda salah pilih, maka anda akan menyesal berkepanjangan. anda yang masih bingung menentukan karir coba deh tips berikut ini :

  1. Evaluasi kekuatan dan kelemahan diri. Dalam menentukan karir, awali dengan mengkaji kekuatan dan kelemahan diri anda sendiri. cobalah tanyakan pada diri anda sendiri. "apa kelebihan dan kekurangan yang anda miliki?, apa yang ingin saya kerjakan?, pekerjaan apa yang ingin saya hindari?, dan sebagainya. kemudian jawablah pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian anda akan menemukan karir yang anda inginkan.
  2. Pilih karir yang sesuai dengan gaya hidup yang anda idamkan.Sampai saat ini uang masih menjadi pertimbangan dominan dalam memilih karir. untuk itu tentukan di tingkat mana anda ingin hidup. berapa penghasilan yang anda inginkan. hal ini akan membantu anda dalam menentukan pilihan karir, paling tidak kalau anda ingin kaya raya anda tidak bisa memilih profesi yang idealis seperti ilmuwan atau guru sekolah dasar. mungkin pilihan menjadi pengusaha bisa anda pertimbangkan.
  3. Kaji trend karir dari berbagai media informasi. Ikuti trend dan perkembangan usaha dari berbagai media informasi seperti majalah, surat kabar, internet, ikuti informasi peluang usaha, trend usaha, dan ekonomi dari media tersebut. kemudian buat kliping tentang lapangan kerja yang anda inginkan. pikirkan mana yang sekiranya sesuai dengan bidang dan kelebihan anda, tujuan hidup anda. kaji peluangnya di masa mendatang, mana yang prospeknya cerah dan mana yang tidak.
    Konsultasikan dengan mereka yang pengalaman dan ahli. Kalau anda masih bingung menentukan karir, bicarakan masalah anda dengan orang yang kompeten di bidangnya. konsultasikan minat, bakat, dan cita-cita anda dengan ahli karir.
  4. Konsisten pada pilihan karir. Konsistensi memang diperlukan jika anda ingin sukses dalam karir. jika anda ingin menjadi penulis, maka pelajari dan tekuni terus bidang tersebut. ingat, konsistensi akan memudahkan anda dalam meraih apa yang anda cita-citakan. jangan pernah sekalipun menyerah apalagi putus asa. sekali anda menyerah, keberuntungan akan semakin sulit anda jangkau.
  5. Jangan takut beralih karir. Meski anda konsisten dengan karir yang anda pilih, tidak menutup kemungkinan jika suatu waktu anda beralih karir. karena tidak seorangpun yang dapat meramalkan masa depan. dalam perjalanan karir anda mungkin saja anda akan menghadapi berbagai kendala yang menyebabkan anda ingin "banting setir". misalnya karena perubahan visi dan pandangan pribadi, atau mungkin karena anda tidak mendapatkan kepuasan dari karir yang anda pilih. jika anda menghadapi situasi demikian tentu pidah karir bukanlah hal yang dilarang. tetapi tentu saja anda harus siap menghadapi resiko dengan keputusan anda.
    bagaiman..?
    sudahkan anda menentukan pilihan karir anda? kalau belum mungkin anda bisa segera menentukannya dengan cara di atas. jangan lupa, semakin cepat anda menentukan karir maka akan semakin baik.
Dari beberapa sumber

Buku 50 Tahun SW 4

1.3. Uwug Kengetan (± 1700 -1820)

Dari ketujuh orang istri dengan 13 orang putra/ putri tersebut, salah seorang diantaranya adalah I Gusti Agung Ayu Suci, putri Cokorda Sakti Blambangan raja Mengwi dari hasil perkawinannya dengan I Gusti Luh Toya Anyar (Keturunan Arya Gajah Para). I Gusti Agung Ayu Suci seperti telah disinggung diatas, mempunyai seorang saudara laki-laki dari satu ibu yang bernama I Gusti Agung Made Banyuning.

Sebagai seorang wanita, I Gusti Agung Ayu Suci dijodohkan dengan putra raja Karangasem yang bernama I Gusti Agung Wayahan Dawan atau sering pula dikenal dengan nama I Gusti Agung Gede Jelantik, dengan status nyentana. Sebagai sama-sama keturunan Sri Naraya Kresna Kepakisan (I Gusti Agung Ayu Suci, keturunan Pangeran Asak dan I Gusti Agung Wayahan Dawan keturunan Pangeran Nyuh Aya). Hal seperti ini sudah lumrah dilakukan dalam adat perkawinan umat Hindu. Disamping untuk memperkuat jalinan tali persaudaraan, pada masa jaman kerajaan perkawinan seperti ini akan dapat lebih memperkokoh kekuasaan para raja untuk tidak saling serang menyerang.

Sebagai seorang anak raja yang berstatus purusa, I Gusti Agung Ayu Suci juga memperoleh daerah kekuasaan dari ayahandanya raja Mengwi, berupa wilayah kerajaan di desa Kengetan dengan iringan rakyat sebanyak 500 orang.

Pemerintahan I Gusti Agung Ayu Suci dengan I Gusti Agung Wayahan Dawan (I Gusti Gede Jelantik), di Kengetan sangatlah makmur, damai dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Hal ini bisa dimengerti karena I Gusti Agung Wayahan Dawan sebagai seorang pendamping raja adalah seorang figur yang sangat menguasai masalah pemerintahan dan masalah agama.

Dari pernikahan I Gusti Agung Ayu Suci dengan I Gusti Agung Wayahan Dawan (I Gusti Agung Gede Jelantik) lahirlah tiga orang putra masing-masing bernama I Gusti Agung Putu Kaler yang kemudian diberikan kedudukan di Katiklantang (Jukut Paku) yang kemudian sempat diselong (hukum pengucilan) ke Nusa Penida dan kemudian menetap dan menurunkan keturunannya di Puri Karangjung, Puri Nyelati dan Kuwum.

Putra yang kedua bernama I Gusti Agung Made Griya yang kemudian menggantikan kekuasaan beliau di Kengetan dan sempat melarikan diri mengungsi ke Sanur, Cemenggon-Penarungan untuk kemudian menurunkan keturunannya di Puri Sembung. Sedang putra yang ketiga adalah I Gusti Agung Gede Samu diberi kedudukan di Samu dan kemudian sempat mengungsi akibat Uwug Kengetan ke Banjar Samu untuk kemudian menurunkan keturunannya di Puri Banjar Samu dan Sigaran.

Tercerai berainya ketiga keturunan beliau yang ada di Kengetan, Katiklantang dan Samu terkait erat dengan peristiwa pada masa hancurnya pemerintahan di Kengetan. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan I Gusti Agung Putu Kengetan di Kengetan dan I Gusti Agung Putu Kaler di Katiklantang serta I Gusti Agung Made Jelantik di Samu (pada masa pemerintahan generasi ke empat dari I Gusti Agung Ayu Suci dan I Gusti Agung Wayakan Dawan (lihat lampiran: 1.5).

Berikut untuk lebih lengkapnya kami kutipkan cerita hancurnya (uwug) kengetan seperti dimuat dalam buku sejarah silsilah keturunan keluarga Swa Wandawa Sembung Karangjung Mengwi susunan I Gusti Gede Oka Puger, Ketua Pertama perhimpunan Swa Wandawa tersebut.

Diceritakan Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan, sesudah beliau menetap berstana di Kengetan, ditetapkan menjadi bahu danda oleh Shri Aji Manguraja. Disebabkan oleh kemahiran beliau dalam bidang perundang-undangan, seperti Rajaniti, jadinya tidak ragu-ragu beliau memerintah Negeri. Itulah sebabnya maka rakyat semua taat dan cinta kepada beliau. Sekali saja beliau mengeluarkan perintah, segalanya beres.

Sesudah beberapa lama kedudukan di Kengetan, maka beliau memperoleh putera tiga orang, yang sulung bernama I Gusti Agung Putu Kaler, yang menengah I Gusti Agung Made Geriya, dan yang bungsu diberi nama I Gusti Agung Gde Samu.

Sesudah mereka ini menanjak Dewasa, adalah minat dari ayah beliau akan memberikan kedudukan kepada mereka itu disertai wadua (pengiring).

I Gusti Agung Gde Samu diberi kedudukan di desa Samu, dan diberi wadua seratus lima puluh orang. I Gusti Agung Putu Kaler berkedudukan di desa Katiklantang, diberi wadua seratus orang. I Gusti Agung Made Geriya tetap berkuasa di Kengetan, sebagai pengganti ayah beliau. I Gusti Agung Gde Samu : Entah beberapa lama beliau bermukim di Desa Samu, maka beliau memperoleh putera seorang, bernama I Gusti Agung Nyoman Jelantik. I Gusti Agung Made Geriya berputera I Gusti Agung Nyoman Kengetan. I Gusti Agung Putu Kaler berputeran seorang bernama I Gusti Agung Ketut Jelantik.

I Gusti Agung Ketut Jelantik menurunkan I Gusti Agung Gde Jelantik, tetapi malang belaiu ini tidak paham huruf. Beliau menurunkan putera yang bernama : I Gusti Agung Putu Kaler, yang menengah I Gusti Agung Made Geriya, dan yang bungsu bernama I Gusti Agung Nyoman Jelantik. I Gusti Agung Nyoman Kengetan menurunkan I Gusti Agung Made Penidha. I Gusti Agung Nyoman Jelantik di Desa Samu berputera I Gusti Agung Gde Samu, dan I Gusti Agung Gde Samu ini menurunkan I Gusti Agung Made Jelantik. I Gusti Agung Made Penidha di Kengetan mempunyai dua orang putera yang bernama : I Gusti Agung Ketut Geriya, adik beliau bernama I Gusti Agung Putu Kengetan.

Entah telah berapa lamanya maka wafatlah I Gusti Agung Gde Jelantik, I Gusti Agung Made Penidha dan I Gusti Agung Made Samu. Mereka berpulang ke alam baka, menuju sorganya masing-masing sudah diadakan pula upacara pitera yadnya sebagaimana mestinya, dibakar jenazahnya di kuburan, beserta alat-alatnya, melalui upacara pitra yadnya yang diselenggarakan oleh para keturunan beliau dengan baik.

Sekarang diceritakan raja di Gianyar sangat berkeinginan akan menaklukan negara-negara. Kengetan, Samu dan Katiklantang. Beliau mengutus petugas-petugas beliau dengan membawa surat, ditujukan kepada mereka yang berkuasa di Kangetan, Samu dan Katiklantang. Maksud surat itu ialah agar ketiga beliau yang berkuasa di kerajaan tersebut ingkar bakti kepada Raja di Manguraja (Mengwi) dan hendaknya berkenan berbaik dengan Raja Gianyar.

Sekarang marilah kita ceritakan kembali mereka yang bersemayam di Kengetan, Samu dan Katiklantang. Setelah beliau – beliau itu menerima surat dari Raja Gianyar tersebut, dan setelah membaca dan mengetahui maksudnya, maka beliau yang bersemayam di Kangetan dan Samu segeralah membuat surat balasan yang isinya, bahwa mereka itu tidak menyetujui permintaan Raja Gianyar, walaupun kerajaan beliau akan menjadi kubangan budak. Sedangkan beliau yang bersemayam di Katiklantang tidaklah memberikan jawaban dengan surat, melainkan menjawabnya hanya secara lisan belaka, yang menegaskan bahwa beliau tidak sudi menyetujui permintaan Raja Gianyar dimaksud.

Tidak diceriterakan beliau yang berkuasa di Katiklantang, sekarang tersebutlah ada seorang wangsa wesya bertempat tinggal di Katiklantang. Orang itu mengetahui hal-ikhwal yang berkuasa di Katiklantang telah menerima surat dari Raja Gianyar; maka segeralah ia menghadap Raja Manguraja (Mengwi), memaklumkan hal-hal yang menyangkut diri yang berkuasa di Katiklantang itu.

Setelah itu maka bangkitlah murka Raja Manguraja, lalu memerintahkan memukul kentongan dengan maksud akan menghancurkan desa Katik lantang. Setelah amarahnya tak tertahan lagi, maka berangkatlah menuju desa Katiklantang, dan setelah digeledah puri di Katiklantang, maka kedapatanlah surat bersangkutan diparba tempat peraduan yang berkuasa di Katiklantang. Setelah diserahkan kepada yang berkuasa di Mangaraja, maka beliau memerintahkan untuk mengusir yang berkuasa di Katiklantang ke Nusa Panida. Sekarang Si Wesya inilah diangkat untuk bertugas di desa Katiklantang.

Entah sudah berapa lamanya, I Gusti Agung Putu Kaler, I Gusti Agung Made Geriya dan I Gusti Agung Nyoman Djelantik beserta sanak keluarga beliau berada di Nusa Panida, beliau meninggalkan putera dua orang, (peria dan wanita), bernama I Gusti Agung Kompiang Geriya dan adik beliau bernama I Gusti Agung Ayu Karang.

Konon tersebutlah I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Ketut Geriya dan I Gusti Agung Made Jelantik, demikian pula wesya yang bertugas di Katik Lantang, kebetulan mereka itu mengadakan pertemuan dengan para pembantu pembantunya, tiba-tiba datanglah pelarian-pelarian, yaitu orang-orang dari perbatasan negerinya, dengan mempermaklumkan, bahwa perajurit Gianyar sedang mengurung negara beliau itu, lengkap dengan senjata, perbekalan dan kendaraan.

Maka gemparlah beliau-beliau yang menguasai masing-masing desa itu, serta memerintahkan memalu kentongan dan mengerahkan rakyat, sebab maksud beliau lekas-lekas menghalau sateru.

Tidak diceritakan malam itu, maka setelah fajar menyingsing di ufuk timur, berangkatlah I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Made Jelantik serta yang bertugas di Katiklantang, dengan habis-habisan rakyat mengiring, lalu mereka mulai berperang, luar biasa ramainya, kejar – mengejar, mati-dimatikan, dan sama-sama banyak yang mati dan luka.

Karenanya, undurlah bala Kengetan, Samu dan Katiklantang, payah serta mengendap-endap dan dibiarkan oleh I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Made Jelantik, dan yang bertugas di Katiklantang, yang sama-sama maju kedepan mengamuk menyerbu musuh, dan ramailah peperangan itu, sama-sama tidak mempan oleh senjata, apalagi I Gusti Agung Putu Kengetan dan I Gusti Agung Made Jelantik, sama-sama tangkas-cekatan dalam peperangan, demikian pula sangat perkasanya yang bertugas di Katiklantang.

Oleh karena kebanyakan lawan, maka terdesaklah ketiga pahlawan itu dalam pertempuran, ditinggalkan oleh para perajuritnya, semuanya sama-sama mundur, tidak dapat ditahan lagi, lari tunggang langgang, sama-sama menuju kebelakang atau ke desa-desa lain. Maka tersebutlah I Gusti Agung Putu Kengetan menghindarkan diri menuju ke Desa Sanur, menumpang pada tempat kediaman wangsa Berahmana di Buruan.

I Gusti Agung Ketut Geriya menuju desa Cemenggon Penarungan, I Gusti Agung Made Jelantik menuju ke dusun Banjar Samu, diikuti oleh orang-orangnya yang masih hidup. Penguasa di Katiklantang ke Karangenjung-Sembung.

Kembali dilanjutkan apa yang diceritakan di depan, setelah mangkatnya I Gusti Agung Made Geriya di Nusa Penida, beliau meninggalkan dua orang putera, yang sulung bernama I Gusti Agung Kompiang Geriya, yang bungsu bernama I Gusti Agung Ayu Karang.

Tersebutlah I Gusti Agung Putu Kaler beserta I Gusti Agung Nyoman Jelantik dengan putera-puteranya; beliau itu sangat bersedih di dalam hati, karena dibuang di Nusa Penida; sebab itu beliau bersama-sama bermusyawarah, tidak lain yang dibicarakan, hanyalah keinginan beliau akan meninggalkan Nusa Penida. Maka pada suatu tengah malam, beliau bersama-sama menuju ke pantai laut; hanya I Gusti Agung Kompiang Geriya tinggal disana. Setiba mereka di tepi laut, maka berjumpalah belaiu dengan seorang pelaut, yang membawa perahu pemancing ikan.

Maka bersabdalah I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik dengan halus dan lemah lembut, minta bantuan agar beliau diantar sampai di desa Kusamba. Pelaut itu menerima baik permintaan itu.

Setelah tiba dipantai Kusamba, maka I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik berkenan memberikan ganjaran kepada nelayan itu. Apakah ganjaran beliau itu?

Tidak lain diajarkan japa mantram untuk memberi pasu pati (tuah) atas pancing dan “penguncur mina”. Maka bersujud dan berterima kasihlah pelaut itu.

Setelah itu maka I Gusti Agung Kaler beserta I Gusti Agung Nyoman Jelantik serta sanak keluarga beliau sekaliannya berangkat menju ibu kota Swecalinggarsa Pura.

Entah berapa lama beliau-beliau itu berdiam disana, maka I Gusti Agung Ayu Karang diperisteri oleh seorang bangsa Satriya Sukahat, yang kemudian menurunkan Ki Dewa Sabug.

Entah berapa lama berduka cita hatinya I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik berada di Swecalinggarsa itu, maka berangkatlah beliau bersama-sama dari sana menuju ke barat, dan sampailah beliau-beliau itu di desa Balahayu, dan di sanalah beliau mencari kawan tak lain kepada yang berkuasa di situ.

Sesudah beberapa hari lamanya, maka menghadaplah yang berkuasa di Balahayu kepada raja di Mangaraja, untuk mempermaklumkan perihalnya I Gusti Putu Kaler dan I Gusti Agung Nyoman Jelantik mengungsi di sana.

Setelah itu maka raja mengirim utusan untuk menghabiskan nyawa keduanya itu.

Tidak disebutkan maka sekarang telah terbunuhlah mereka yang mengharapkan pertolongan itu di sebelah Selatan Desa Balahayu, di pinggir sungai Sungi, berdekatan dengan tempat persembahyangan Pura Tungkub, dan dimakamkan di sana.

Demikianlah, sekarang marilah diceritakan setelah wafatnya I Gusti Agung Putu Kaler; adalah beliau meninggalkan seorang putera yang masih kecil yang sangat tampan parasnya, bernama I Gusti Agung Nyoman Sengguan, sangat kasih sayanglah yang berkuasa di Balahayu kepada anak kecil itu, lalu dimohonnyalah kepada yang bertahta di Mangaraja, agar diperkenankan anak itu terus hidup, hal mana dapat perkenan dari raja.

Sesudah beliau Dewasa, lalu beliau mencari tempat tinggal, yaitu di desa Kerangenjung-Sembung.

Sekarang beralih ke I Gusti Agung Ketut Adi, putera dari I Gusti Agung Putu Kangetan, yang bersembunyi di Sanur. Beliau sekarang mencari tempat tinggal di lingkungan desa sembung.

Setelah tetap kedudukan beliau-beliau itu di Karangenjung dan Sembung tersebutlah Raja Mangaraja bermusuhan dengan beliau yang berkuasa di Wratmara; Maka tersebutlah I Gusti Agung Kompiang Geriya, putera dari I Gusti Agung Made Geriya yang telah wafat di Nusa Penida, datang sujud menghadap kepada Raja Semarapura, serta beliau berdatang sembah dengan harum manis, sembah beliau : Maaf duli Tuanku, oleh karena Sri Paduka Tuanku sekarang dalam peperangan dengan yang berkuasa di Marga, sekarang sudi apalah kiranya Sri Paduka Tuanku mengorbankan jiwa-ragaku si Geriya ini di medan laga. Permohonan hamba hanyalah, sudi kiranya meninjau/menyaksikan perbuatan hamba. Di kala hamba Paduka Tuanku gugur di medan bukti, permohonan hamba Tuanku hanyalah agar sanak keluarga hamba yang berada di Karangjung-Sembung dan Banjar Samu, sudi Paduka Tuanku mengampuni karena kekurangnnya.

Maka berkenanlah Sri Baginda Raja Semararaja, dan segeralah I Gusti Agung Kompiang Geriya menyerbu ke dalam peperangan dengan tak menoleh kanan-kiri, dengan bersenjatakan keris Si Baru Kandik, entah berapa lawan yang telah terbunuh oleh beliau. Oleh karena banyaknya lawan, maka terdesaklah beliau di desa Bugbugan, serta terbunuh dengan pusaka kawitan di Wratmara, dan dipenggal leher beliau serta kepala beliau dipersembahkan kepada Kyayi Anglurah Tabanan, dan digantungkan di tengah-tengah kuburan di sana. Beliau itulah digelari sebutan Betara Rana di Bugbugan hingga kini.

Tentukan Perubahan - Jangan Menunggu !

Banyak orang yang suka mengeluh dalam hidupnya. Misalnya, dengan menyalahkan nasib buruk yang menimpanya. Tentu saja cara ini tidak akan pernah menjadikan kehidupannya menjadi lebih baik, bukan?

Ada pepatah bijak mengatakan : "You can not chance the wind direction, but you can only chance your wing direction" . Kita tidak akan pernah bisa merubah arah angin, yang dapat kita lakukan adalah mengubah arah sayap. Dengan kata lain................................

'Realita' kehidupan tidak akan berubah kecuali kita sendirilah yang mengubah 'sudut pandang' terhadap realita yang ada!

Fakta: "Tidak ada seorang pun yang memilih kita untuk sukses. Kita sendirilah yang menentukan pilihan tersebut!" Kebanyakan orang akan tertarik sejenak ketika diingatkan akan hal di atas, tapi kemudian berlalu kembali.......... Sementara waktu terus berjalan, dan akhirnya tidak pernah ada perubahan dalam hidupnya! Sangat disayangkan. Seringkali orang tidak berani melakukan perubahan dalam hidupnya. Dia hanya menunggu, dan menunggu adanya perubahan tersebut. Menunggu bantuan orang lain, menunggu bantuan teman untuk mendapatkan pekerjaan yang enak, sampai menunggu warisan ;-)

Sekarang logikanya, jika memang hanya dengan menunggu perubahan itu akan datang, maka jumlah orang sukses seharusnya jauh lebih banyak. Bukankah kenyatannya tidak demikian? Lalu, jika ingin sukses, apa yang seharusnya kita lakukan?

Ciptakan perubahan ! Jangan selalu menunggu orang lain. Berikut beberapa tips yang bisa membantu kita untuk menciptakan perubahan:

  1. Do your best, whatever happens will be for the best! Lakukan dan selesaikan semua tugas dan pekerjaan semaksimal mungkin, bukan hanya terus menunggu dan berharap. Lakukan semuanya dengan tujuan untuk selalu mendapatkan hasil *terbaik* yang bisa kita capai!
  2. Mulai buat jaringan seluas-luasnya. Dengan banyak mengenal orang, maka pengetahuan kita akan semakin bertambah. Seseorang yang kelihatannya sederhana bisa jadi menyimpan kedalaman ilmu yang tidak kita duga! Oleh sebab itu, alangkah bijaknya jika kita menjadikan 'setiap orang adalah guru' dan kehidupan ini adalah universitasnya.
  3. Berusahalah selalu untuk bersikap proaktif. Sikap ini sangat diperlukan jika ingin mendapatkan kesempatan yang lebih luas dan cepat dalam berbagai macam hal!
  4. Bersikaplah Fleksibel. Cobalah untuk memahami suatu hal dari berbagai sudut pandang. Jangan terpaku pada satu cara, yang bisa jadi tidak lagi relevan kita gunakan. Dengan bersikap fleksibel, wawasan kita akan semakin bertambah. Satu hal penting yang harus selalu diingat: Kita-lah yang memutuskan untuk berubah. Kita-lah yang menentukan menjadi sukses, bukan orang lain!

Jika pilihan sukses tidak pernah kita ambil, maka orang lain akan mengambil pilihan tersebut. Dan, kita akhirnya hanya akan menyaksikan

kesuksesan mereka, tanpa pernah merasakannya........................................... Bukankah kita tidak berharap demikian?

Jika memang tidak, tentukan perubahan..........................................................

MULAI HARI INI. Jangan terus menunggu !

Sukses untuk kita semua

I GUSTI AGUNG WAYAHAN DAWAN CUCU RAJA KARANGASEM III

( oleh: I Gusti Agung Putu Juana)

Pasikian Swa Wandawa Sembung-Karangenjung yang berdiri sejak 15 September 1957 telah menerbitkan “Buku 50 Tahun Swa Wandawa”. Penerbitan ini rangka HUT ke-50 Swa Wandawa Sembung-Karangenjung. Walaupun telah dibahas dalam Seminar di Gedung (Audio Vidio) SMA N 2 Denpasar tanggal 6 April 2007, keberadaan Ida Bhatara Lelangit I Gusti Agung Wayahan Dawan belum dibahas secara rinci dalam buku tersebut. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu, sumber/ literatur yang ada, serta keterbatasan pengetahuan tim penyusun.

Pada tanggal 31 Oktober 2007, Pangelingsir/Pengurus Swa Wandawa menerima surat dari I Gusti Made Jelantik Susila (Jero Anyar Sembung). Dalam surat tsb terlampir satu eksemplar buku yang beliau susun dengan judul: (Tabe Pakulun) “I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti” (Sang Atapa Rare, Bhatara Lelangit Pasemetonan Swa Wandawa Sembung-Karangenjung lan Pasemetonan Puri Samu). Rupanya dari tulisan tersebut memberikan titik terang dalam menjawab tanda tanya yang sering terngiang tentang keberadaan Tabe Pakulun Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan. Beliau diberikan kedudukan di Kengetan oleh Raja Mengwi Ida Cokorda Sakti Blambangan, setelah dijodohkan dengan putri beliau Ida I Gusti Agung Ayu Suci. Tulisan yang berupa buku dijilid rapi setebal kurang lebih 26 halaman yang kami terima dari I Gusti Made Jelantik Susila, penulis coba untuk merangkum sebagai bahan informasi melalui penerbitan majalah GEMA edisi yang ke-8 ini. Di samping mengambil sumber dari buku: “I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti”, penulis juga mencoba untuk menggabungkan dari sumber-sumber lain, di antaranya dari bagan silsilah Shri Nararya Kresna Kepakisan, entah dari mana didapatkan oleh saudara I Gusti Nyoman Widnyana, yang ditunjukkan (dipinjamkan) kepada peneulis, saat kami (Juana dan Puspanegara) berkunjung ke rumahnya (Jl. Tk. Banyuasri Panjer Denpasar).

Shri Nararya Kresna Kepakisan sebagai Maha Patih dan Penasehat Raja Sri Aji Kresna Kepakisan (Dalem Kresna Kepakisan) yang berkedudukan di Samprangan (1352 M). Beliau mempunyai dua orang putra yaitu Pangeran Nyuh Aya dan Pangeran Made Asak. Keturunan Pangeran Nyuh Aya merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Karangasem, dan keturunan Pangeran Made Asak merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Mengwi. Pratisentana dari kedua dinasti ini (Pangeran Nyuh Aya dan Pangeran Made Asak) akhirnya bersatu dalam perjodohan perkawinan antara I Gusti Agung Wayahan Dawan dari dinasti Pangeran Nyuh Aya dan I Gusti Agung Ayu Suci dari dinasti Pangeran Asak, yang menurunkan Pasemetonan Swa Wandawa Sembung-Karangenjung dan Pasemetonan Puri Br. Samu dan Sigaran. Bagaimana perjalanan sejarahnya? Marilah kita ikuti uraian berikut ini.

Pangeran Nyuh Aya mempunyai 8 orang putra, yaitu:

  1. Kiyai Agung Petandakam
  2. Kiyai Satra
  3. Kiyai Pelangan
  4. Kiyai Kloping
  5. Kiyai Akah
  6. Kiyai Cacaran
  7. Kiyai Anggan dan
  8. Kiyai Ayu Adhi

KA. Petandakan mempunyai 4 orang putra yaitu:

  1. KA. Batanjeruk
  2. KA. Bebengan
  3. K. Tusan dan
  4. K. Gunung Nangka

KA. Batanjeruk mengangkat seorang anak, yaitu I Gusti (Pangeran) Oka, di mana I Gusti (Pangeran) Oka adalah keponakan beliau, putra dari KA. Bebengan.

Dikisahkan bahwa KA. Batanjeruk (I Gusti Arya Batanjeruk) melakukan pemberontakan terhadap Dalem di Gelgel. Menurut buku: “Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok (Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem 1661 – 1950), Anak Agung Ktut Agung, 1990, pada halaman 27 menjelaskan:

“…….. Kerajaan Karangasem lahir sekitar 1661 M dengan I Gusti Anglurah Ktut Karang sebagai Raja I (pertama). Beliau ini adalah keturunan I Gusti Arya Batanjeruk, Patih Agung yang memberontak terhadap Dalem Gelgel ……….”

Selanjutnya diceritrakan bahwa Dalem Gelgel memperoleh bantuan dari penguasa Kapal yang dipimpin oleh Krian Manginte. I Gusti Arya Batanjeruk mengalami kekalahan, dan wafat di Bongaya dalam perang tanding melawan Krian Mangite. (Menurut bagan silsilah Shri Nararya Kresna Kepakisan, Krian Manginte adalah putra dari Pangeran Made Asak yang masih bersaudara kandung dengan Pangeran Nyuh Aya. Sedangkan I Gusti Arya Batanjeruk adalah cucu dari Pangeran Nyuh Aya. Dengan demikian Krian Manginte adalah pernah paman dari I Gusti Arya Batanjeruk. Sedangkan menurut buku yang ditulis oleh Jelantik Susila disebutkan bahwa I Gusti Arya Batanjeruk saudara sepupu dari Krian Manginte). Peristiwa ini terjadi di Jungutan-Bungaya, sekitar tahun 1556 M.

Dalam pergolakan perang dengan Krian Manginte, , istri dan anak angkat beliau I Gusti (Pangeran) Oka dapat menyelamatkan diri. Kemudian beliau berdua memperoleh perlindungan dari Danghyang Astapaka, pendeta Bhuda di Desa Bhudakeling. Danghyang Astatapa juga mempunyai pasraman di Bukit Mangu di Desa Toya Anyar (Tianyar), dan Pangeran Oka hampir selalu mengikuti Danghyang Astatapa di Bukit Mangu. Sedangkan ibunya tinggal di Bhudakeling dan membantu segala kegiatan di Geriya Bhudakeling, termasuk bila ada kegiatan pergi ke pasar.

Pada waktu itu sebagai penguasa di Karangasem ialah I Dewa Karang Amla, yang waktu itu berkedudukan di Desa Selagumi (Bale Punduk). Janda Batanjeruk yang hampir setiap tiga hari ke pasar Karangasem, sering bertemu dengan I Dewa Karang Amla, yang kemudian timbul kontak bathin. I Dewa Karang Amla berniat mengawini Sang Janda dan kemudian meminangnya. Danghyang Astatapa selaku wali menyetujui dengan syarat bahwa kedudukan I Dewa Karang Amla kelak bila tiba waktunya harus digantikan oleh Pangeran Oka atau keturunannya. I Dewa Karang Amla menyetujui syarat yang diberikan, dan setelah menatap muka dan penampilan Pangeran Oka, dengan ikhlas menganggapnya sebagai putranya. Dan sejak saat itu Pangeran Oka diajak bersama.

Setelah Pangeran Oka dewasa, beliau berkeluarga dengan tiga orang istri, dan menurunkan enam putra, yaitu: I Gusti Wayahan Teruna, I Gusti Nengah Begbeg, I Gusti Nyoman Karang, I Gusti Ketut Landung, I Gusti Marga Wayahan dan I Gusti Wayahan Bantas. Beberapa lama kemudian setelah putra-putranya dewasa, Pangeran Oka meninggalkan Batu Aya untuk pergi bertapa di Bukit Mangu Tianyar. Beliau mengikuti jejak Danghyang Astatapa sampai wafat di Bukit Mangu. Kedudukan beliau di Batu Aya digantikan oleh putranya (dari istri prami treh I Gusti Akah, yaitu I Gusti Nyoman Karang.

I Gusti Nyoman Karang yang berkedudukan di Batu Aya menurunkan seorang putra bernama I Gusti Ktut Karang yang lahir dari ibu treh I Gusti Tusan. Kemudian setelah I Dewa Karang Amla wafat, beliau inilah (I Gusti Ktut Karang) yang menggantikan kedudukannya sebagai penguasa di Karangasem. Beliau inilah Raja Karangasem Pertama dari keturunan Shri Nararya Kresna Kepakisan, abhiseka I Gusti Anglurah Ktut Karang. Beliau membangun Puri Amlaraja (Puri Kelodan sekarang) yang terletak di utara Batu Aya sekitar tahun 1661 M.

I Gusti Anglurah Ktut Karang menurunkan empat orang putra, yaitu: I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, I Gusti Ayu Nyoman Rai (Ratna Inten) dan I Gusti Ktut Karangasem. I Gusti Ayu Nyoman Rai Ratna Inten diperistri oleh Ida Bhatara di Gunung Agung, berputra Ida Bhatara Alit Sakti yang melingga di Pura Bukit, kira-kira 10 km di sebelah timur laut Amlapura. Sedang ketiga putra laki-laki setelah raja pertama wafat, diangkat kebagai Raja II merupakan pemerintahan kolektif (Tri Tunggal). Yang menjalankan pemerintahan sehari-hari adalah I Gusti Anglurah Nengah Karangasem yang didampingi oleh kakak beliau I Gusti Anglurah Wayan Karangasem. Sedang yang bungsu I Gusti Anglurah Ktut Karangasem sebagai Senopati (Panglima Perang), yang kemudian memimpin ekspedisi mengalahkan kerajaan Sela Parang dan Pejanggi di Lombok pada tahun 1692 M.

I Gusti Anglurah Nengah Karangasem mempunyai seorang putra, yaitu I Gusti Anglurah Made Karang, yang kemudian menjadi Raja Karangasem III. I Gusti Anglurah Made Karang (menurut babad Karangasem, Anak Agung Ktut Agung, 1991) mempunyai 4 orang putra dan 2 orang putri. Putra yang sulung dari ibu prami (putri I Gusti Ktut Penida) bernama I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti. Beliau disebut sakti karena dikenal berbudi luhur, memiliki pengindraan keenam, dapat melihat sepanjang dikehendaki. Babad karangasem menyebutkan bahwa beliau:

“……….Saksat Bhatara Dharma majadma, wruh sira ring tatwa, jnana, cintya suksma kara wyada tekeng jadma gati, mwah wicita tekeng dyumna, apan suduk swastika sarira denira …….”

Beliau ini hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang pertapa, suka menyepi dan beryoga, dan beliau tidak mau memegang tampuk pemerintahan menggantikan ayah beliau (Raja Karangasem III). Beliau mengikuti Danghyang Astatapa (Buddha) dan dikenal sebagai Sang Atapa Rare karena menjalani tapa (upawasa) seperti anak kecil. Dalam keadaan atapa rare inilah beliau menghadapi maut, dibunuh oleh pasukan prajurit Gelgel atas perintah Cokorda Jambe. Setelah mengalami tikaman keris di dada kiri beliau, sempat bertahan menunggu kedatangan putra-putra beliau, dan memberikan pesan-pesan penting termasuk suatu pewisik tentang kediatmikan kepada I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem. Menjelang beliau menghembuskan nafas terakhir, menugaskan salah seorang putra belaiu I Gusti Agung Wayahan Dawan, sebagai utusan untuk menyampaikan kejadian ini (wafatnya Sang Atapa Rare) kepada Ida Cokorda Sakti Blambangan (Raja Mengwi). Disinilah terjadi pertemuan antara Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan dengan Ida I Gusti Agung Ayu Suci, yang kemudian menurunkan Pratisentana Pasemetonan Swa Wandawa Sembung-Karangenjung dan Pasemetonan Puri Samu-Sigaran.

Dalam “Babad Shri Nararya Kresna Kepakisan, Pengurus Pusat Pasemetonan Shri Nararya Kresna Kepakisan, 2007”, pada halaman 138, ayat 67 b, ada dijelaskan sebagai berikut:

“…..Wantunen punang katha mwah, wuwusan manik sira I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti, apan sira tar mahyun ri tataning kaprabon, ammtang nia kang mang dadhya catranikang bhuana Karangasem ping tri, tar waneh sutanira kang jalu-jalu. Sira Anglurah Made Karangasem Sakti, akadatwan sira ring Puri Kelodan Karangasem, sira anurunaken atmaja triyodasi kwehnya, jalu stri, luwire: kang maluhur I Gusti Ayu Wayahan Jelantik, kanganten I Gusti Ayu Nyoman Jelantik, I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem, I Gusti Ayu Rai, I Gusti Ayu Nyoman Dharma, I Gusti Ayu Kaler, I Gusti Agung Wayahan Dawan, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, I Gusti Wayahan Gianyar, I Gusti Ayu Wanasari, I Gusti Ktut Kaler, mwang kang wuruju apapasih I Gusti Ngurah Kaler …….”

Karena beliau (I Gusti ANglurah Made Karangasem Sakti) tidak berkenan memegang tampuk pemerintahan, maka kedudukan raja diserahkan kepada anak-anak beliau (cucu I Gusti Anglurah Made Karang, Raja Karangasem III), yaitu I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, yang memerintah secara kolektif (Tri Tunggal) sebagai Raja Karangasem IV.

Menurut Prasasti I Gusti Pring, Jro Mangku Ktut Subandi, Denpasar, 16 Mei 2002, yang diterima oleh I Gusti Made Jelantik Susila dari Pangelingsir Puri Samu I Gusti Agung Made Nami, pada halaman 10 dari prasasti itu dijelaskan sebagai berikut:

“…..Kunang I Gusti Agung Anglurah Made Karangasem Sakti asutha 13 diri jalu stri, luwirnya: Ni Gusti Agung Ayu Wayan Jelantik, I Gusti Agung Anglurah Made Karangasem madeg ratu maring Karangasem; Ni Gusti Ayu Nyoman Jelantik; I Gusti Agung Anglurah Nyoman Karangasem wekasan jemeneng ratu maring Karangasem; Ni Gusti Agung Ayu Rai; Ni Gusti Agung Ayu Nyoman Dharma; Ni Gusti Agung Ayu Kaler; I Gusti Agung Wayahan Dawan akadatwang maring Desa Kengetan; I Gusti Agung Anglurah Ktut Karangasem wekasan madeg ratu maring Karangasem; I Gusti Agung Wayan Gianyar; Ni Gusti Agung Ayu Wanasari; I Gusti Agung Ktut Kaler; muang I Gusti Agung Nengah Kaler…….”

Selanjutnya pada halaman 13 ada disebutkan:

“…..Titanen Cokorda Sakti Blambangan, rat ring Manguwi asuta 13 diri jalu stri, luwirnya: I Gusti Agung Ratu Panji, wekasan paltra maring Padekdekan, I Gusti Agung Ktut Buleleng maring Muncan (Kapal Muncan,pen), I Gusti Agung Pacung maring Singasari (Blahkiuh,pen), Ni Gusti Ayu Pacung kalap rabi de I Dewa Agung maring Smarapura, I Gusti Agung Wayahan maring Penarungan, I Gusti Agung Made Kamasan maring Sibang Srijati, I Gusti Agung Made Mambal tembenya pejah pwa sira, I Gusti Agung Lebah maring Kapal Kanginan, I Gusti Agung Banyuning maring Sayan, Ni Gusti Ayu Suci inalap rabi de I Gusti Agung Wayahan Dawan maring Kengetan, Ni Gusti Putu Alangkajeng inalap rabi de Sang Pandya Udayana Mimba, I Gusti Agung Alangkajeng wekasan madeg rat maring Mengwi, abiseka Cokorda Made Agung, muang I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng ……”

Mengenai hal ini telah banyak diuraikan dalam Buku 50 Tahun Swa Wandawa, khususnya tentang keberadaan Ida I Gusti Agung Ayu Suci, putri Ida Cokorda Sakti Blambangan yang dijodohkan dengan Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan yang oleh beliau (Cokorda Sakti Blambangan) diberikan kedudukan di Kengetan dengan wadwa 500 orang. Hal ini juga dijelaska dari Babad Mengwi, terjemahan I Wayan Simpen, A.B., cetakan ke-2 tahun 1983, pada halaman 2, yaitu:

“…..Ni Gusti Luh Toya Anyar turunan Arya Gajahpara (sebagai salah seorang istri Cokorda Sakti Blambangan, pen), berputra I Gusti Agung Made Banyuning diam di Sayan, dengan rakyat 500 orang dan adiknya Ni Gusti Ayu Suci dan diambil oleh I Gusti Dawan diberi tempat di Kengetan dengan rakyat 500 orang ……..”.

Demikian uraian singkat yang dapat penulis rangkum khususnya dari buku yang dikirimkan kepada kami (Pangelingsir/Penggurus Swa Wandawa) oleh Yang Terhormat I Gusti Made Jelantik Susila.

Terimakasih.

DUKA MENDALAM ATAS KEPERGIANNYA

Uraian singkat ini adalah wujud rasa hormat penulis kepada almarhum I Gusti Agung Ngurah Rai Ardana (wafat tanggal 14 Maret 2008), dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa (wafat tanggal 21 Juni 2008), I Gusti Agung Ngurah Sumerta, ST (wafat tanggal 1 Juli 2008), dan I Gusti Agung Putu Panji Wirawan (wafat tanggal 9 Agustus 2008). Saat mendengar berita kepergian beliau, penulis hanya terdiam namun di sisi lain benak dan pikiran terbawa oleh kesan penulis pada almarhum ketika beliau masih ada. Ketika dialog antar pribadi masih terjalin, banyak hal yang telah terbangun, wujudnya adalah kesan penulis tentang almarhum. Bangunan itulah yang ingin penulis ungkapkan di sini. Namun kemampuan menuangkan dalam tulisan adalah faktor keterbatasan penulis. Sehingga pastilah tulisan ini banyak kekurangannya. Sekali lagi, kekurangan itu bukan terletak pada “bangunan yang telah terwujud itu”, tetapi semata-mata pada cara penulis mengekspresikannya.

Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai wujud simpati pada keluarga yang ditinggal yang dalam keseharian selanjutnya tanpa didampingi orang yang dicinta itu. Pastilah kepergiannya dirasa sebagai kehilangan; kehilangan suami, kehilangan ayah, kehilangan kakek, dan banyak wujud kehilangan lain. Tetapi di atas semua kehilangan itu ada satu wujud kehilangan yang sangat berarti yaitu kehilangan tempat berbagi; tempat mencurahkan kegembiraan saat bergembira dan tempat bersandar pada saat berada pada kesedihan. Betapapun beratnya perpisahan ini namun harus diterima apa adanya. Semua ini terjadi karena kehendak ”Keberadaan Yang Tertinggi” di atas sana. Sebagai manusia kita hanya menjalani saja.

1. I Gusti Agung Ngurah Rai Ardana

Sejak masih kanak-kanak beliau dikenal punya otak cerdas. Setamat sekolah beliau mengabdikan diri sebagai PNS pada Kantor Wilayah Departemen Perdagangan di Denpasar. Beliau adalah tipe pekerja keras dan karena prestasinya dipercaya memegang berbagai jabatan penting. Beliau pernah mendapatkan penugasan di Lampung dan mendekati usia pensiun ditugaskan di Surabaya. Dari pernikahannya dengan I Gusti Ayu Alit, beliau dikaruniai 6 anak (4 perempuan dan 2 laki-laki). Satu hal yang membanggakan adalah beliau bersama istri telah berhasil mengantarkan putera-puterinya bisa mandiri. Dalam berbagai kegiatan usaha, beliau suka bereksperimen. Pengelolaan bemo pernah dilakoni yang memang ketika itu kalkulasinya menguntungkan. Ketika peternakan ayam petelor menjanjikan, beliau menekuni usaha itu dan mengadakan kerja sama dengan perusahaan jamu Cap Jago sebagai penampungan hasil telornya. Ada satu hobi yang beliau tekuni hingga menjelang akhir hayatnya yaitu merawat tanaman bunga dan anggrek. Hobi yang tidak hanya memberikan kesejukan , tetapi juga kecintaan lewat keindahan bunganya. Hobi yang cocok dengan suasana kebatinan menjelang seseorang memasuki usia pensiun. Beliau berpendapat, kedepan keperluan akan bunga terus meningkat. Tidak hanya sebatas keperluan sarana sembahyang dan hiasan tetapi telah merambah dalam berbagai wujud ekspresi baik sebagai simbul kegembiraan atau rasa duka. Pendek kata bunga punya seribu satu makna, yang tentu ke depan semakin banyak ungkapan menggunakan bahasa bunga. Bunga telah menjadi mata dagangan dan bila ditekuni secara serius nilai rupiahnya bukan main.

Selanjutnya semenjak pensiun beliau banyak berkecimpung dalam kegiatan sosial keagamaan. Beliau mendapat kehormatan dikukuhkan sebagai uger di Pura Dalem Paruman Sembung. Bersama masyarakat beliau melakukan pemugaran pura secara besar-besaran. Demikianlah hari-hari beliau penuh berbagai aktivitas. Kesibukan itu rupanya menyebabkan beliau keasikan sehingga selalu merasa sehat, padahal sudah mulai ada gejala gangguan kesehatan. Sesuatu yang sulit dipercaya kesehatan beliau semakin menurun dan di luar dugaan pada 14 Maret 2008 beliau wafat. Saat mendengar berita tentang kepergiannya itu ada keragu-raguan tentang kebenaran berita itu, karena tiga hari sebelumnya penulis sempat membesuk beliau ke rumah sakit Sanglah. Kami berombongan empat orang, yaitu penulis disertai istri, dan I.G.B. Puspanegara juga disertai istri. Di rumah sakit sudah ada putra-putri dan menantu beliau yang dengan cinta kasih mendampingi beliau. Ruang perawatan yang ber-AC itu membuat kami menggigil kedinginan, mungkin disebabkan kami baru saja datang dari luar yang udaranya gerah. Kami mengucapkan salam, setelah itu perhatian kami terfokus pada beliau. Atas kedatangan dan simpati kami, dengan sangat lirih beliau mengucapkan terima kasih. Kami sempat berdialog dan ternyata pikiran beliau masih jernih, kata-katanya bisa kami tangkap. Beliau ingin lebih lama bercerita menyampaikan pikiran dan perasaan beliau, namun kami sadar dengan tulisan yang terpampang di pintu masuk “harap tenang”, membuat kami membatasi diri. Pikiran kami biarlah nanti setelah beliau sembuh dialog itu diteruskan lagi. Sesaat suasana hening, terlihat beliau memejamkan kelopak mata kemudian terdengar suara liruh, menyampaikan keluhan tentang penyakit beliau. Dari putera-puteri beliau terdengar jawaban agar beliau tabah dan bersabar, semua berdoa untuk kesembuhan beliau. Setelah itu semua diam, tak ada yang memulai percakapan. Suasana jadi hening. Sayup-sayup terdengar mesin pantau kesehatan yang memperlihatkan gerak grafik pada layar mesin itu. Semua pandangan terarah kesana. Penulis tak paham arti gerak grafik itu, tetapi di tengah-tengah ketidak mengertian itu ada niatan menanyakan apa arti semua itu. Niatan itu beralih pada gerakan putra-putri dan menantu beliau yang secara sigap membenahi letak bantal dan selimut dengan belaian kasih. Lewat belaian kasih itu penulis menemukan mutiara kehidupan yang tidak ternilai. Dalam keadaan sakit seperti itu peran keluarga semakin berarti. Sebab tanpa mereka sepertinya kita tak memiliki apapun. Memang banyak handai-taulan yang datang, tetapi mereka tidak sama seperti keluarga yang terus merawat dan memperhatikan. Cinta adalah sesuatu yang paling utama. Tak ada yang menggantikan peran itu. Perlahan seorang perawat mendekat, memeriksa kondisi beliau. Ia lanjut menyuntikkan obat pada cairan infus yang tergantung di atas sana. Beliau terdiam dan nampak tanda-tanda mengantuk. Kami semua diam, tak ada percakapan sama sekali hingga beliau terlelap. Karena sudah cukup lama di sana, kami berempat mohon pamit. Sesaat beliau terjaga dan memandang ke arah kami disertai anggukan. Betapapun anggukan itu sedikit sekali tetapi maknanya cukup kami pahami. Beriringan kami keluar dari ruang perawatan itu. Di sepanjang perjalanan tak ada obrolan yang kami lakukan. Hanya satu-dua patah kata yang terdengar, masing-masing terbawa pikirannya sendiri. Di tengah-tengah kebisuan itu ada satu hal yang tak terucapkan yaitu doa untuk kesembuhan beliau. Sungguh sayang harapan itu tidak terpenuhi karena tiga hari setelah itu beliau berpulang. Sebuah berita yang mengejutkan dan menyisakan rasa duka yang mendalam. Tidak terbayangkan kepergiannya itu karena beliau masih dalam usia relatif muda. Sekali lagi kita kehilangan seorang panutan tempat kita bertanya dan berbagi dalam suka dan duka. Mengapa ini harus terjadi? Sebuah pertanyaan yang tak bisa dijawab.

Penuturan banyak orang, kehidupan ini sama alaminya dengan kematian itu sendiri, bagian dari proses yang kita jalani. Keduanya diliputi berbagai misteri. Tiada pernah usai bila dipertanyakan. Tidak ada jawaban yang bisa mengungkap rahasia di dalamnya. Porsi kita sebatas penyelenggaraan upacara ritualnya semata agar Sang Hyang Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan sarira (raga sarira, suksma sarira) segera bisa kembali ke alam pitra (asalnya). Begitu juga unsur sariranya bisa kembali ke asal. Prinsipnya ritual tersebut adalah penyucian dan sastra menyebutkan pahalanya besar bagi siapapun yang membantu kelancaran prosesi itu. Siapapun membantu, dari alam sana, dianugerahkan aura berupa ketenangan dan kesabaran dalam memaknai kehidupan dunia ini. Sebuah tuntunan yang baik bagi bahan renungan karena berbagai sumber menyebutkan barang siapa melakukan hal-hal yang berguna (subhakarma), dia membebaskan dosa sepuluh tingkat leluhurnya, sepuluh keturunannya dan ia sendiri adalah yang kedua puluh satu. Penulis meyakini ada Keberadaan Tertinggi yang menciptakan semua ini. Terpujilah bagi siapapun yang menjadikan itu sebagai pedoman.

Satu hal yang penulis kagumi adalah tentang ketegaran keluarga yang ditinggalkan. Mereka nampak tenang dan bersabar. Pada gurat wajahnya, tak nampak ada keputus-asaan dan kebingungan atas cobaan ini. Sebagai wujud hormat dan bakti kepada orang tua, mereka telah memberikan yang terbaik bagi almarhum dari sejak perawatan hingga prosesi pengabenan. Tamu yang datang mereka sambut dengan ramah begitu pula saat mereka pamit, diantar sembari mengucapkan terima kasih. Kiranya dari alam sana, almarhum tetap memberikan perhatian bagi keluarga yang beliau cinta itu.

Kiranya sudah saatnya kita mengikhlaskan kepergiannya dan bagi pihak keluarga diharapkan tetap bergandengan tangan satu sama lain dan jangan biarkan kesedihan ini sampai berlarut-larut. Semoga.

2. Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa

Matahari baru saja condong ke barat. Sinarnya redup. Sebuah mobil sarat penumpang berhenti di parkiran Jero Kuwum. Keempat pintunya terbuka dan satu persatu penumpang turun. Di sana ada Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa beserta Istri dan peserta lain dalam mobil itu adalah I Gusti Agung Ketut Raiwati (Ibu Penulis), I Gusti Agung Ayu Rai (kakak dari Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa), Ny. I Gusti Agung Made Oka Wirya, I Gusti Agung Ayu Rai (Istri dari I Gusti Agung Ketut Putra). Ada 2 peserta lain yang umurnya masih muda yaitu I Gusti Agung Ayu Mas Silawati duduk di belakang stir mobil dan satunya lagi Kadek Indrawati menantu dari I Gusti Agung Made Oka Wirya. Seturun dari mobil langsung menuju Saren Anyar. Disebut Saren Anyar karena banguanan itu yang terakhir dibuat sehingga untuk membedakan dengan bangunan lain, nama itu diberikan. Bangunan itu terdiri dari 2 kamar yang fungsinya semata- mata sebagai gudang tempat menyimpan barang-barang keperluan upacara. Di depan kamar itu ada ruang terbuka yang difungsikan sebagai tempat duduk dan aktivitas mempersiapkan keperluan upacara. Sudah biasa tamu yang datang dipersilakan di sana. Tidak seperti biasa, yang datang kali ini memilih duduk di bawah, di pinggiran lantai menghadap ke selatan. Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa dan istri duduk paling barat, dan yang lain di sebelah timurnya. Duduk seperti itu terasa lebih nyaman karena kaki bisa dijulurkan ke bawah. Penulis masih ingat hari itu, Minggu tanggal 1 Juni 2008. Saat itu tidak banyak terdengar obrolan, hanya terdengar satu dua patah kata saja. Mungkin dikarenakan ada suara berisik dari aktivitas tukang bangunan yang tengah mengerjakan renovasi merajan. Perhatian terfokus kearah sana. Sekitar 10 menit kemudian ibu penulis membagikan senteng, lanjut mempersilakan semua menuju ke merajan. Sesampai di halaman merajan, Dr. I Gusti Agung Nyoman Adhi Yasa mengedarkan pandangannya ke pelinggih- pelinggih yang direnovasi itu lanjut bersama- sama duduk di atas tikar menghadap Sanggar Agung. Setelah sarana berupa bunga dan dupa siap, persembahyangan dimulai. Setelah persembahyangan selesai, kembali lagi duduk di Saren Anyar. Di sana telah disediakan jeruk dan beberapa jenis buah-buahan lain. Karena segera harus berangkat ke bandara Dr. I Gusti Agung Adhi Yasa dan Istri mohon pamit. Penulis mengulurkan tangan untuk bersalaman dan beliau membalasnya sembari mengucapkan kata “Rahayu”, lanjut berjalan menuju tempat parkir. Dari atas mobil beliau melambaikan tangan dan kendaraan yang dikemudikan I Gusti Agung Ayu Mas Silawati itu perlahan bergerak menuju arah Denpasar. Demikian suasana perjumpaan terakhir yang masih terbayang.

Kemudian tiba pada Sabtu malam tanggal 21 Juni 2008 ada berita yang sangat mengagetkan, beliau diberitakan meninggal dunia. Semua terdiam, tak ada kata yang bisa diucapkan. Ibu penulis merasa sangat terpukul oleh pemberitaan itu, beliau tertunduk dan terkulai sembari mencucurkan air mata. Kesedihannya tiada terbendung. Beberapa kali nama almarhum disebutnya dengan suara terbata- bata. Sesaat beliau melihat ke atas, semacam doa untuk almarhum.

Kepergiannya meninggalkan kenangan bagi kita semua. Beliau dikenal sangat tekun, mencintai profesi dokter yang telah menjadi pilihan hidupnya. Beliau adalah dokter pertama di lingkungan keluarga kita, satu gelar akademis yang ketika itu demikian langka. Hanya kalangan yang berotak encer saja yang bisa meraih gelar itu. Beliau pernah bertutur, dokter tidaklah segala- galanya. Profesi dokter tak berbeda dengan profesi lain, sama- sama punya tugas pelayanan. Dokter dan pasien bisa diibaratkan sebagai sebuah tim yang punya tujuan sama yaitu kesembuhan. Porsi dokter dalam membangun kesembuhan hanya sebagian dan bagian lainnya ada pada pasien. Jadi harus ada kerjasama di antara dokter dan pasien itu. Namun harus diyakini, pemilik otoritas tertinggi ada di atas sana, di tangan Tuhan. Sehingga di samping usaha dan kerja keras (dokter dan pasien), doa tak boleh ditinggalkan.

Ada satu lagi yang ingin penulis ceritakan tentang beliau, yaitu tentang kegemaran beliau menulis. Lewat tulisan itu Beliau ingin berbagi. Adapun dorongan menulis itu muncul setelah beliau membaca sebuah artikel, tentang peristiwa yang menimpa seorang bocah usia 13 tahun ketika berkecamuk Perang Dunia II. Bocah itu bernama Anne Frank yang karena satu sebab dia dan keluarganya jadi incaran serdadu pendudukan Jerman di Belanda. Keluarga itu bersembunyi di sebuah ruangan gedung bertingkat. Sebagai perintang- rintang waktu Anne Frank menulis catatan harian. Semula ia menulis untuk dirinya sendiri. Hingga suatu ketika ia mendengar sebuah stasiun radio di Inggris menyiarkan pidato seorang pejabat Belanda di pengasingan. Pejabat itu berniat mengumpulkan Pelbagai catatan saksi sejarah penderitaan rakyat semasa pendudukan Jerman. Pidato itu memotivasi Anne Frank membuat catatan harian. Kelak jika perang usai dia ingin menerbitkan sebuah buku berdasarkan catatan harian itu. Benar buku itu kemudian terbit sebagai bacaan yang sangat diminati orang. Berdasarkan penuturan almarhum, kisah itu menjadi salah satu faktor pendorong beliau tertarik menulis. Semacam catatan yang merupakan tumpahan pikiran, perasaan, dan apapun yang beliau alami. Beliau menulis apapun yang beliau suka atau tidak suka apa adanya tanpa paksaan. Dari berbagai tulisan yang pernah beliau buat, ada inti sari pemikiran beliau yang pernah dimuat dalam majalah Gema terbitan 29 November 2006. Artikel yang beraroma spiritual dangan pokok bahasan tentang kebenaran dan 8 cara mewujudkannya. Sebuah renungan yang sarat makna. Bila disederhanakan dapat dijelaskan bahwa dalam diri setiap orang ada 2 pribadi, yaitu pribadi yang lebih rendah yang dilahirkan dan terikat pada ilusi dunia material, dan satunya lagi adalah pribadi yang lebih tinggi yang tidak dilahirkan dan tanpa ikatan sama sekali. Untuk bisa meraih kebenaran itu kita harus belajar untuk menemukan jalan menuju pribadi yang lebih tinggi itu. Karena kalau tidak, kita akan tetap jadi budak karma yang dikuasai sepenuhnya oleh berbagai ilusi yang lahir dari ego kita ini. Kita harus menyadari itu dan punya motivasi bahwa saatnya telah tiba untuk mulai belajar. Dari tulisan yang beliau buat itu kita jadi tahu Beliau telah menjalani proses belajar itu. Tentu tidak terbilang makna yang diperolehnya dalam perjalanan untuk menemukan kebenaran itu. Doa penulis untuk Beliau semoga damai di sana. Bagi keluarga yang ditinggal kiranya tetap tabah dan jangan pernah melupakan makna dari artikel yang beliau titip lewat tulisan itu.

3. I Gusti Agung Ngurah Sumerta ST

Ditinjau dari usia beliau terbilang muda. Beliau adalah putera ke-4 dari 10 bersaudara. Dalam profesinya sebagai PNS di lingkungan PLN, beliau dikenal sebagai pekerja ulet, punya semangat pantang mundur dan selalu optimis. Berbicara apa adanya, blak-blakan dan tak suka basa-basi. Singkat kata to the point. Begitulah sikap hidupnya. Sikap yang menjadikan dirinya mudah bergaul, cepat akrab dengan siapapun termasuk dalam hubungan kedinasan dengan atasan. Beliau punya pengalaman luas karena pernah ditempatkan di berbagai wilayah di Maluku. Berbekalkan pengalaman itu, beliau kemudian ditempatkan di Bali. Sebelum ditarik ke Denpasar, beliau pernah bertugas di Tabanan.

Saat penulis masih sebagai PNS di Tabanan, ada rapat pembahasan anggaran. Waktu itu posisi penerimaan daerah tidak dapat menutup belanja yang direncanakan. Solusinya anggaran penerimaan diusahakan meningkat. Semua instansi yang terlibat dalam penerimaan diundang. Dalam relasinya dengan penerimaan, kewenangan PLN adalah pajak penerangan jalan. Dalam rapat itu penulis sempat berdialog dengan almarhum, ternyata almarhum sangat menguasai data. Dengan tangkas semua pertanyaan diresponnya dan karena semangat tanpa sadar Beliau memanggil penulis dengan sebutan “bli”. Terdengar ledakan tawa dari seluruh peserta rapat sehingga suasana berubah yang sebelumnya serius jadi penuh tawa. Selesai rapat penulis sempat bersalaman dan mengundang beliau makan siang. Tetapi Beliau jawab, “Lain kali saja, karena masih ada tugas lain yang menunggu”. Demikian jawab Beliau singkat lalu berjalan kearah pintu keluar. Peristiwa itu yang penulis kenang saat mendengar Beliau diberitakan wafat. Memang cukup lama beliau mendapatkan perawatan medis. Sudah demikian banyak upaya yang dilakukan untuk kesembuhannya. Tetapi pada akhirnya kita dihadapkan pada kenyataan yang selalu ingin kita hindari. Beliau wafat pada tanggal 1 Juli 2008 dan 9 hari berikutnya diselenggarakan upacara ngaben untuk beliau. Kiranya atas doa semua pihak, utamanya istri dan ketiga anak baliau penyelenggaraan upacara dari awal hingga selesai telah berjalan lancar. Dan bagi keluarga yang ditinggal tetap tabah. Semua memanjatkan doa untuk kalian.

4. I Gusti Agung Putu Panji Wirawan

Beliau adalah putra pertama dari I Gusti Agung Made Raka Rapeg dengan empat saudara. Keempat saudara beliau adalah perempuan, dan semua telah menikah. Sejak kecil beliau tinggal di Banjar Nyelati, tepatnya di Jero Nyelati Delodan. Demikian pula pendidikannya yang ketika itu sebutannya adalah Sekolah Rakyat (SD sekarang) dijalani bersama teman-teman sebayanya di Desa Sembung. Karena sejak kecil tinggal di desa, hampir semua warga dikenalnya utamanya generasi yang sebaya dengan beliau. Beliau pernah mengikuti berbagai kursus sebagai kelengkapan atas ijasah yang dimilikinya. Berbekalkan pengetahuan itu beliau pernah tercatat sebagai pegawai tidak tetap di PLN, tetapi tidak lama kemudian mengundurkan diri karena lebih menyukai kehidupan di pedesaan. Kemudian setelah menikah atas desakan orang tua dan istrinya, beliau bekerja di Kantor Pemerintah Daerah. Dalam perjalanan kariernya sebagai PNS, beliau pernah bertugas di Kantor Camat Mengwi dan kemudian di Kantor Camat Abian Semal sampai akhirnya memasuki usia pensiun. I Gusti Agung Putu Panji Wirawan memiliki 3 orang anak terdiri dari 2 laki-laki dan 1 perempuan. Mereka semua telah mandiri. Anak pertama bekerja sebagai PNS di Kantor Bupati Badung. Dari anak pertama beliau mendapatkan seorang cucu perempuan. Kemudian anak kedua adalah polisi yang dulu pernah bertugas di wilayah perbatasan Timor Leste, dengan dua orang anak, yaitu satu laki-laki dan satu perempuan. Selanjutnya anak beliau yang ketiga adalah perempuan, masih gadis yang kini bekerja di California (Amerika Serikat). Kiranya dari apa yang telah dicapai oleh ketiga putra beliau itu, pastilah memberikan satu kepuasan dan kebanggaan bagi beliau dan istrinya. Secara awam bisa disebutkan mereka semua telah jadi orang. Tampaknya kebahagiaan ini tidak lama bisa beliau nikmati. Karena penyakit yang dideritanya, beliau harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sungguh di luar dugaan kondisi kesehatannya terus memburuk dan dokter yang merawatnya tidak berhasil memberikan kesembuhan bagi beliau. Akhirnya beliau meninggal pada Sabtu siang, tanggal 9 Agustus 2008. Seluruh keluarga besar Swa Wandawa berduka atas kepergian beliau.

Dalam relasinya dengan makna kehidupan keempat almarhum telah memberikan yang terbaik menurut caranya masing-masing. Beliau telah sampai di penghujung perjalanan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Namun yang utama bagi kita adalah memetik manfaat dari mutiara kehidupan yang telah beliau torehkan itu. Kiranya torehan itu bisa jadi bahan renungan bagi kita dan generasi selanjutnya.

Semoga.

(I Gusti Ngurah Suryanegara)

Fakta Kesehatan

KHASIAT BUAH

Oleh :

I Gusti Made Adnyana

Bath, Juli 1992. Kala itu penulis sedang melaksanakan tugas belajar mendalami teknologi keamanan bandara untuk menangkal setiap aktifitas yang berniat mengganggu keamanan dan keselamatan penerbangan, berlokasi di Bailbrooke Colledge, Bath, Inggris. Aktifitas rutin mulai Senin sampai Jumat adalah belajar di kelas termasuk praktikum di laboratorium. Sabtu dan Minggu adalah acara bebas, dan apabila tidak pesiar sebagian dari kami bermain tennis meja. Kala itu seorang peserta dari jurusan Pengatur Lalu Lintas Penerbangan, ATC (Air Traffic Controller) berkebangsaan Inggris, David memperkenalkan diri dan mengajak penulis bermain melawannya dan akhirnya kami menjadi teman akrab.

Sejak saat itu, setiap makan pagi, dia memilih duduk bersama kami peserta dari Indonesia dan mengobrol berbagai hal. Penulis memperhatikan kebiasaan bule tersebut, yaitu selalu minum dua gelas jus jeruk sebelum makan pagi. Padahal orang-orang tua kita dahulu bahkan ada dokter menyarankan untuk tidak makan atau minum jus buah yang rasanya masam di pagi hari apabila mengidap sakit maag. Penulis merasa heran, dan bertanya dalam hati, “pagi-pagi begini, perut kosong kok minum jus jeruk, apa tidak sakit perut?”. Lama tidak ada jawaban, dan pasti selamanya tidak akan ada jawaban, karena pertanyaan itu penulis ajukan dalam hati. Namun dalam keheningan itu Si-David berbicara : “ayo minum dulu sebelum makan, jus jeruk baik untuk kesehatan”. Dengan lunglai Penulis jawab: “No, thank you. saya tidak berani karena punya sakit maag”. Dia berkata : “saya dulu sama seperti anda, lalu dokter menyarankan untuk minum segelas atau dua gelas jus jeruk setiap pagi minimal setengah jam sebelum makan”. Setelah agak lama berbincang akhirnya penulis berjanji mulai besok pagi akan minum jus jeruk seperti yang ditawarkan oleh Si David.

Kesesokan harinya, pagi-pagi benar penulis bersama seorang teman dari Jakarta masuk kantin Bailbrooke Colledge untuk minum segelas jus jeruk, dan setengah jam setelah minum penulis mulai ambil makanan untuk sarapan pagi. Rasa was-was mulai muncul, detik berganti menit, menitpun berganti jam, penulis menunggu reaksi apa yang akan terjadi dalam perut. Siang telah tiba dan malampun menanti, tidak ada reaksi yang bersifat negatif, oh.... lega. Pagi berikutnya penulis minum dua gelas jus sebelum makan pagi dan begitu untuk hari-hari selanjutnya. Selama dua bulan di Inggris, walaupun cuaca cukup dingin, kesehatan penulis berada pada kondisi puncak, tidak pernah lelah, apalagi flu atau sakit. Teman-teman melihat tubuh penulis lebih langsing, tetapi kenyataannya berat badan tidak menurun bahkan sedikit meningkat (dari 73 Kg menjadi 75 Kg).

Singkat kata, tugas belajar selesai, kami saling berpisah dan masing-masing saling memberi cendera mata. Setibanya di Indonesia penulis berusaha mencari tahu melalui literatur penyebab kesembuhan penyakit maag oleh jus jeruk yang diminum di pagi hari minimal setengah jam sebelum makan. Hari-hari pencarian berlalu tanpa hasil, sehingga pasrah dan akhirnya terlupakan. Tetapi pada tahun 2007 setelah setahun bertugas di Kantor Pusat PT. Angkasa Pura I (Persero) Jakarta, artinya 15 tahun masa penantian dan pencarian, akhirnya penulis menemukan jawabannya dari tiga orang akhli kesehatan, yaitu :

1. Iskandar Ali :

Iskandar Ali adalah seorang pendiri Klinik Herbal Sari Alami dan anggota HIPTRI (Himpunan Pengobat Tradisional dan Akupuntur Indonesia). Menekankan keseimbangan kondisi asam dan basa dalam tubuh manusia, karena fungsi pencernaan akan sehat jika kondisi asam dan basa dalam tubuh seimbang. Tubuh memerlukan lebih banyak makanan pembentuk basa dari pada pembentuk asam. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa makanan pembentuk asam tidak ada hubungannya dengan makanan asam (acidic foods). Makanan pembentuk asam rasanya belum tentu asam atau bisa berbeda sama sekali. Sebagai contoh, buah-buahan yang rasanya asam seperti jeruk, nanas dan stroberi memberi pengaruh basa di dalam tubuh manusia. Jika terjadi sariawan, nyeri lambung, flu atau kelebihan berat badan, pertanda gejala tingkat keasaman tubuh mulai tinggi.

2. Lotus Yogamaitri menulis dalam Majalah Seri Dharma dengan topik cara makan buah yang benar, dengan uraian sebagai berikut :

a. Cara Makan Buah Yang Benar :

Kita layaknya berfikir bahwa makan buah ditafsirkan sebagai berikut : membeli buah-buahan, dicuci dan dipotong lalu dimakan. Tetapi bukan segampang itu persepsinya dan memang bukan itu yang dimaksud. Yang terpenting harus difahami adalah bagaimana dan kapan kita makan buah.

b. Bagaimana dan Kapan Makan Buah :

Buah dibersihkan (dicuci atau dikupas) terlebih dahulu dan makanlah buah di waktu perut sedang kosong, bukannya sesudah makan (sering disebut cuci mulut). Jika anda memakan buah setelah perut kenyang akan membuat sistem dalam perut menjadi kacau (detoxifying your system). Akibatnya berat badan akan merosot dan kehilangan energi untuk kegiatan hidup

c. Makanan Terbaik :

Buah adalah makanan terbaik untuk manusia dan penting bagi setiap orang untuk pertumbuhan pikiran yang kreatif, berkualitas tinggi, dinamis dan harmonis. Coba bayangkan, anda makan pagi dengan dua potong roti atau sepiring nasi goreng, kemudian makan buah-buahan. Buah yang dimakan akan segera masuk perut dan usus besar, tetapi terhalang oleh roti atau nasi goreng yang dimakan tadi. Buah itu tercegat, sementara roti atau nasi goreng tadi membusuk dan meragi berubah menjadi asam dalam perut. Ketika buah masuk dan kontak dengan makanan dalam lambung tercampur asam lambung, membuat makanan dalam perut menjadi rusak.

Kita sering mendengar banyak orang mengeluh karena setiap kali makan buah semangka jadi cegukan (slekutan), sehabis makan durian membuat perut kembung, habis makan pisang terasa mual atau ingin ke toilet atau ada rasa tidak enak. Hal ini tidak akan terjadi apabila buah dimakan sewaktu perut kosong. Sesuai hasil penelitian Dr. Herbert Sehlton, bahwa tidak benar apabila jeruk, dan semangka membuat perut jadi perih, sebab semua buah yang dimakan menjadi alkaline dalam tubuh kita.

d. Apabila anda menguasai cara yang benar makan buah, berarti anda mengetahui rahasia hidup sehat, kuat, cantik, panjang umur, berbahagia dan harmonis, berat tubuh selalu normal. Jika ingin minum jus buah, minumlah jus buah yang asli bukan kalengan. Jus buah tidak boleh dipanaskan atau dimasak karena akan kehilangan nutrisi dan zat kesehatan yang dibutuhkan. Dalam hal ini anda hanya menikmati rasanya saja dari buah tersebut.

3. Alyce M. Sorokie :

Alyce M. Sorokie secara terus menerus mempelajari dan memadukan berbagai modalitas penyembuhan alternatif. Dia merupakan pendiri Partner in Wellness, yaitu klinis holistik yang menghususkan diri pada terapi kolon di daerah Chicago, dan telah menjadi konsultan pencernaan dan terapi kolon selama 18 tahun. Dia mengupas tentang kadar asam dan basa dalam perut. Khawatir, cemas, takut dan stress menghasilkan asam di dalam tubuh. Agar sehat, tubuh harus mempertahankan kadar pH darah 7,4 (sedikit basa – alkalis). Semua sayuran dan buah bersifat sangat basa. Buah segar akan membersihkan saluran cerna, serta mudah dicerna dan dimetabolisasi. Buah jeruk merupakan sumber pektin (serat larut membantu menyerap kalsium) yang sangat baik. Namun demikian buah pisang, buah-buahan tropis dan buah kering harus dikonsumsi dalam jumlah terbatas bagi mereka yang sensitif terhadap gula. Jika kadar pH darah menjadi asam, kesehatan kita akan terganggu. Makanan berprotein (daging dan telur), produk susu, soda, alkohol, gula dan kopi adalah makanan pembentuk asam. Marilah kita lebih arif memilih produk makanan untuk kearifan perut yang kita sayangi ini. Dan apabila tidak ada aral melintang akan dilanjutkan dengan kombinasi makanan untuk kearifan perut pada terbitan Gema berikutnya.

(Pemogan, 2010)